Jumat, 06 Mei 2011

SISTEM PELAYANAN KESEHATAN

A. Pengertian sistem

Pengertian sistem banyak macamnya. Beberapa diantaranya yang dipandang penting adalah :
1) Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh suatu proses atau stuktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya menghasilkan suatu yang telah ditetapkan.
2) Sistem adalah suatu struktur konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organik yang mencapai keluaran yang diinginkan secara efektif dan efisien.
3) Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari berbagai elemen yang berhubungan serta saling mempengaruhi yang dengan sadar dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pengertian sistem secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni :
1. Sistem sebagai suatu wujud
siatu sistem disebut sebagai wujud (entity), apabila bagian-bagian atau elemen-elemen yang terhimpun dalam system tersebut membentuk suatu wujud yang cirri-cirinya dapat di deskripsikan atau digambarkan dengan jelas.
2. Sistem sebagai suatu metode
Suatu sistem disebut sebagai suatu metode, apabila bagian-bagian atau elemen-elemen yang terhimpun dalam system tersebut membentuk suatu metode yang dapat dipakai sebagai alat dalam melakukan pekerjaan administrasi.





B. Ciri-ciri sistem

1. Dalam sistem terdapat bagian atau elemen yang satu sama lain saling berhubungan dan mempengaruhi yang kesemuanya membentuk satu kesatuan, dalam arti semuanya berfungsi untuk mencapai tujuan yang sama yang telah ditetapkan.
2. Fungsi yang diperankan oleh masing-masing bagian atau elemen yang membentuk satu kesatuan tersebut adalah dalam rangka mengubah masukan menjadi keluaran yang direncanakan.
3. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, semuanya bekerja sama secara bebas namun terkait, dalam arti terdapat mekanisme pengendalian yang mengarahkannya agar tetap berfungsi sebagaimana yang telah direncanakan.
4. Sekalipun sistem merupakan satu kesatuan yang terpadu, bukan berarti ia tertutup terhadap lingkungan.

C. Unsur sistem terdiri dari :

1. Input
Merupakan subsistem yang akan memberikan segala masukan untuk berfungsinya sebuah sistem. Input sistem pelayanan kesehatan : potensi masyarakat, tenaga & sarana kesehatan, dsb.
2. Proses
Kegiatan yg mengubah sebuah masukan menjadi sebuah hasil yg diharapkan dari sistem tsb. Proses dalam pelayanan kesehatan: berbagai kegiatan dalam pelayanan kesehatan.
3. Output
Merupakan hasil yang diperoleh dari sebuah proses Output pelayanan kesehatan : pelayanan yang berkualitas & terjangkau sehingga masyarakat sembuh & sehat.

4. Dampak
Merupakan akibat dari output/hasil suatu sistem, terjadi dalam waktu yg relatif lama. Damapk sistem Pelayanan kesehatan adalah masyarakat sehat, angka kesakitan & kematian menurun.
5. Umpan balik
Merupakan suatu hasil yg sekaligus menjadi masukan Terjadi dari sebuah sistem yg saling berhubungan & saling mempengaruhi. Umpan balik dlm yankes : kualitas tenaga kesehatan.
6. Lingkungan
Semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan.

D. Pengertian pelayanan

Pelayanan adalah merupakan kegiatan dinamis berupa membantu menyiapkan, menyediakan dan memproses serta membantu keperluan orang lain. (Soetanto,2003).
Pelayanan kesehatan adalah Setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.

E. Ciri-ciri pelayanan kesehatan
1. P : Pleasantness
Seorang petugas harus mampu menyenangkan pelanggan.
2. E : Eagerness to help others
Seorang memiliki keinginan yang kuat dari dalam dirinya untuk membantu
3. R : Respect for other people
Seorang harus menghargai dan menghormati pelanggan.
4. S : Sense of responsibility is a realization that what one does and says is important.
Seorang harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan perkataannya terhadap pelanggan.

5. O : Orderly mind is esenssial for methodical and accurate work
Seorang harus memiliki jalan jalan pemikiran yang terarah dan terorganisasi untuk melakukan pekerjaan dengan metode baik dan tingkat ketepatan yang tinggi.
6. N : Neatness indicates pride in self and job
Seorang harus memiliki kerapian dan bangga dengan pekerjaanya sendiri.
7. A : Accurate in everything done is of permanent importance
Seorang harus melakukan pekerjaan dengan keakuratan atau ketepatan atau ketelitian, hal ini merupakan sebuah nilia yang sangat penting.
8. L : Loyality to both management and colleagues make good time work
Seorang harus bersikap setia pada management dan rekan kerja, merupakan kunci membangun kerja sama.
9. I : Intelligence use of common sense at all time
Seorang harus senantiasa menggunakan akal sehat dalam memahami pelanggan dari waktu ke waktu
10. T : Tact saying and doing the right thing at the righ time
Seorang harus memiliki kepribadian, berbicara, bijaksana dan melakukan pekerjaan secara benar.
11. Y : Yearning to be good servive clerk and love of the work is essential
Seorang mempunyai keinginan menjadi pelayan yang baik serta mencintai pekerjaannya.




F. Tingkat pelayanan kesehatan

. Menurut Leavel & Clark
1. Health promotion (promosi kesehatan)
Merupakan tingkat pertama dalam memberikan pelayanan melalui peningkatan kesehatan Bertujuan utk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Cth: kebersihan perorangan, perbaikan sanitasi lingkungan.

2. Specifik protection (perlindungan khusus)
Perlindungan khusus adalahmasy terlindung dr bahaya/ penyakit2 tertentu
Cth : Imunisasi, perlindungan keselamatan kerja.
3. Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini & pengobatan segera) Sudah mulai timbulnya gejala penyakit Dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit Cth : survey penyaringan kasus

G. Lembaga Pelayanan Kesehatan

Merupakan tempat pemberian pelayanan kesehatan pd masyarakat untuk meningkatkan status kesehatan
Bervariasi berdasarkan tujuan pemberian yan kesehatan.
Terdiri dari :
1. Rawat Jalan
Bertujuan memberikan pelayanan kesehatan pd tingkat pelaksanaan diagnosis & pengobatan penyakit akut/ mendadak & kronis yg dimungkinkan tdk terjadi rawat inap.
2. Institusi
Merupakan lembaga pelayanan kesehatan yg fasilitasnya cukup dlm memberikan berbagai tk. pelayanan kesehatan Cth : RS, pusat rehabilitasi.
3. Hospice
Bertujuan memberikan pelayanan kesehatan yg difokuskan pd klien dg sakit terminal sampai melewati masa terminal dg tenang Biasanya digunakan dlm home care.
4. Community Based Agency
Dilakukan di keluarga klien, spt praktek perawat keluarga.

H. Lingkup Sistem Pelayanan Kesehatan

Dalam sistem pelayanan kesehatan dapat mencakup pelayanan dokter, pelayanan keperawatan & pelayanan kesehatan masyarakat.Terdapat tiga bentuk pelayanan kesehatan, yaitu :
1. Primary health care (pelayanan kesehatan tk. pertama)
-Dilaksanakan pd masyarakat yg memiliki masalah kesehatan yg ringan/masyarakat sehat sehingga kesehatan optimal & sejahtera
-Sifat pelayanan kesehatan: pelayanan kesehatan dasar
-Puskesmas, balai kesehatan.
2. Secondary health care (pelayanan kesh tk. Kedua)
Untuk klien yg membutuhkan perawatan rawat inap tapi tidak dilaksanakan di pelayanan kesehatan utama.
-RS yg tersedia tenaga spesialis.
3. Tertiary health care (pelayanan kesehatan tingkat Ketiga)
-Tingkat pelayanan tertinggi
-Membutuhkan tenaga ahli/subspesialis & sbg tempat rujukan utama seperti RS tipe A atau B.
Merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang meliputi pelayanan dasar & rujukan sehingga meningkatkan derajat kesehatan. Pada tingkat pelayanan dasar dilakukan di lingkup puskesmas dengan pendekatan askep keluarga & komunitas yang berorientasi pada tugas keluarga dalam kesehatan, diantaranya mengenal masalah kesehatan secara dini, mengambil keputusan, menanggulangi keadaan darurat, memberikan pelayanan dasar pada anggota keluarga yang sakit serta memodifikasi lingkungan.
Pada lingkup pelayanan rujukan, tugas perawat adalah memberikan askep pada ruang/lingkup rujukannya, seperti: asuhan keperawatan anak, askep jiwa, askep medikal bedah, askep maternitas, askep gawat darurat.

I. Faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan :

1. Ilmu pengetahuan & teknologi baru
2. Pergeseran nilai masyarakat
3. Aspek legal dan etik
4. Ekonomi
5. Politik





















Daftar Pustaka

Wahit Iqbal Mubarak, SKM.2005. Pengantar Keperawatan Komunitas 1
http://laskargaluh.blogspot.com/2009/10/sistem-pelayanan-kesehatan.html
http://www.eriktapan.com/2007/08/kembali-berulang-masalah-sistem.html
http://arali2008.wordpress.com/perihal/sistem-dan-sub-sistem-puskesmas/

Perubahan anatomik pada sistem genetalia pada lansia

A. Perubahan anatomik pada sistem genetalia pada lansia

1. Wanita
Dengan berhentinya produksinya hormon estrogen, genitalia interna dan eksterna berangsur-angsur mengalami atrofi
a. Vagina
Vagina mengalami kontraktur, panjang dan lebar vagina mengalami pengecilan. Fornises menjadi dangkal, begitu pula serviks tidak lagi menonjol ke dalam vagina. Sejak klimakterium, vagina berangsur-angsur mengalami atropi, meskipun pada wanita belum pernah melahirkan. Kelenjar seks mengecil dan berhenti berfungsi. Mukosa genitalia menipis begitu pula jaringan sub-mukosa tidak lagi mempertahankan elastisitas nya akibat fibrosis.
Perubahan ini sampai batas tertentu dipengaruhi oleh keberlangsungan koitus, artinya makin lama kegiatan tersebut dilakukan kurang laju pendangkalan atau pengecilan genitalia eksterna.
b. Uterus
Setelah klimaterium uterus mengalami atrofi, panjangnya menyusut dan dindingnya menipis, miometrium menjadi sedikit dan lebih banyak jaringan fibrotik. Serviks menyusut tidak menonjol, bahkan lama-lama akan merata dengan dinding jaringan.
c. Ovarium
Setelah menopause, ukuran sel telur mengecil dan permukaannya menjadi “keriput” sebagai akibat atrofi dari medula, bukan akibat dari ovulasi yang berulang sebelumnya, permukaan ovarium menjadi rata lagi seperti anak oleh karena tidak terdapat folikel. Secara umum, perubahan fisik genetalia interna dan eksterna dipengaruhi oleh fungsi ovarium. Bila ovarium berhenti berfungsi, pada umumnya terjadi atrofi dan terjadi inaktivitas organ yang pertumbuhannya oleh hormon estrogen dan progesteron.
d. Payudara (Glandula Mamae)
Payudara akan menyusut dan menjadi datar, kecuali pada wanita yang gemuk, dimana payudara tetap besar dan menggantung. Keadaan ini disebabkan oleh karena atrofi hanya mempengaruhi kelenjar payudara saja.
Kelenjar pituari anterior mempengaruhi secara histologik maupun fungsional, begitu pula kelenjar tiroid dan adrenal menjadi “keras” dan mengkibatkan bentuk tubuh serupa akromegali ringan. Bahu menjadi gemuk dan garis pinggang menghilang. Kadang timbul pertumbuhan rambut pada wajah. Rambut ketiak, pubis mengurang, oleh karena pertumbuhannya dipengaruhi oleh kelenjar adrenal dan bukan kelenjar ovarium. Rambut kepala menjadi jarang. Kenaikan berat badan sering terjadi pada masa klimakterik.
2. Pria
a. Prostat
Pembesaran prostat merupakan kejadian yang sering pada pria lansia, gejala yang timbul merupakan efek mekanik akibat pembesaran lobus medius yang kemudian seolah-olah bertindak sebagai katup yang berbentuk bola (Ball Valve Effect). Disamping itu terdapat efek dinamik dari otot polos yang merupakan 40% dari komponen kelenjar, kapsul dan leher kantong kemih, otot polos ini dibawah pengaruh sistem alfa adrenergik. Timbulnya nodul mikros¬kopik sudah terlihat pada usia 25-30 tahun dan terdapat pada 60% pria berusia 60 tahun, 90% pada pria berusia 85 tahun, tetapi hanya 50% yang menjadi BPH Makroskopik dan dari itu hanya 50% berkembang menjadi BPH klinik yang menimbulkan problem medik.
Kadar dehidrosteron pada orang tua meningkat karena meningkatnya enzim 5 alfa reduktase yang mengkonfersi tetosteron menjadi dehidro steron. Ini yang dianggap menjadi pendorong hiperplasi kelenjar, otot dan stroma prostat. Sebenarnya selain proses menua rangsangan androgen ikut berperan timbulnya BPH ini dapat dibuktikan pada pria yang di kastrasi menjelang pubertas tidak akan menderita BPH pada usia lanjut.
b. Testis
Penuaan pada pria tidak menyebabkan berkurangnya ukuran dan berat testis tetapi sel yang memproduksi dan memberi nutrisi (sel Leydic) pada sperma berkurang jumlah dan aktifitasnya sehingga sperma berkurang sampai 50% dan testoteron juga menurun. Hal ini menyebabkan penuruna libido dan kegiatan sex yang jelas menurun adalah multipel ejakulasi dan perpanjangan periode refrakter. Tetapi banyak golongan lansia tetap menjalankan aktifitas sexsual sampai umur lanjut.

B. Perubahan fisiologik aktivitas seksual akibat proses penuaan bila ditinjau dari pembagian tahapan seksual menurut Kaplan adalah berikut ini :
1. Fase desire
Dipengaruhi oleh penyakit, masalah hubungan dengan pasangan, harapan kultural, kecemasan akan kemampuan seks. Hasrat pada lansia wanita mungkin menurun seiring makin lanjutnya usia, tetapi bias bervariasi.Interval untuk meningkatkan hasrat seksual pada lansia pria meningkat serta testoteron menurun secara bertahap sejak usia 55 tahun akan mempengaruhi libido.
2. Fase arousal
Lansia wanita: pembesaran payudara berkurang; terjadi penurunan flushing, elastisitas dinding vagina, lubrikasi vagina dan peregangan otot-otot; iritasi uretra dan kandung kemih.
Lansia pria : ereksi membutuhkan waktu lebih lama, dan kurang begitu kuat; penurunan produksi sperma sejak usia 40tahun akibat penurunan testoteron; elevasi testis ke perineum lebih lambat.


3. Fase orgasmic
Lansia wanita : tanggapan orgasme kurang intens disertai lebih sedikit konstraksil kemampuan mendapatkan orgasme multipel berkurang.
Lansia pria : kemampuan mengontrol ejakulasi membaik; kekuatan dan jumlah konstraksi otot berkurang; volume ejakulat menurun.
4. Fase pasca orgasmik
Mungkin terdapat periode refrakter dimana pembangkitan gairah sampai timbulnya fase orgasme berikutnya lebih sukar terjadi. Disfungsi seksual pada lansia tidak hanya disebabkan oleh perubahan fisiologik saja, terdapat banyak penyebab lainnya seperti:
a. Penyebab iatrogenik
Tingkah laku buruk beberapa klinisi, dokter, suster dan orang lain yang mungkin membuat inadekuat konseling tentang efek prosedur operasi terhadap fungsi seksual.
b. Penyebab biologik dan kasus medis
Hampir semua kondisi kronis melemahkan baik itu berhubungan langsung atau tidak dengan seks dan system reproduksi mungkin memacu disfungsi seksual psikogenik.

C. Di samping faktor perubahan fisik, faktor psikologi juga sering kali menyebabkan penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia seperti :
1. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
2. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya.
3. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
4. Pasangan hidup telah meninggal.
5. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
D. Beberapa hal yang dapat menyebabkan masalah kehidupan sosial antara lain :
1. Infark miokard
Mungkin mempunyai efek yang kecil pada fungsi seksual. Banyak pasien segan untuk terlibat dalam hubungan seksual karena takut menyebabkan infark.
2. Pasca stroke
Masalah seksual mungkin timbul setelah perawatan di rumah sakit karena pasien mengalami anxietas akibat perubahan gambaran diri, hilangnya kapasitas, takut akan kehilangan cinta atau dukungan relasi serta pekerjaan atau rasa bersalah dan malu atas situasi. Pola seksual termasuk kuantitas dan kualitas aktivitas seksual sebelum stroke sangat penting untuk diketahui sebelum nasehat spesifik tentang aktivitas seksual ditawarkan. Karena sistem saraf otonomik jarang mengalami kerusakan pada stroke, maka respon seksual mungkin tidak terpengaruh.
Libido biasanya tidak terpengaruh secara langsung. Jika terjadi hemiplegi permanent maka diperlukan penyesuaian pada aktivitas seksual. Perubahan penglihatan mungkin membatasi pengenalan orang atau benda-benda, dalam beberapa kasus, pasien dan pasangannya mungkin perlu belajar untuk menggunakan area yang tidak mengalami kerusakan. Kelemahan motorik dapat menimbulkan kesulitan mekanik, namun dapat diatasi dengan bantuan fisik atau tehnik “bercinta” alternatif. Kehilangan kemampuan berbicara mungkin memerlukan sistem non-verbal untuk berkomunikasi.
3. Kanker
Masalah seksual tidak terbatas pada kanker yang mengenai organ-organ seksual. Baik operasi maupun pengobatan mengubah citra diri dan dapat menyebabkan disfungsi seksual (kekuatan dan libido) untuk sementara waktu saja, walaupun tidak ada kerusakan saraf.


4. Diabetes mellitus
Diabetes menyebabkan arteriosklerosis dan pada banyak kasus menyebabkan neuropati autonomik. Hal ini mungkin menyebabkan disfungsi ereksi dan disfungsi vasokonstriksi yang memberikan kontribusi untuk terjadinya disfungsi seksual.
5. Arthritis
Beberapa posisi bersenggama adalah menyakitkan dan kelemahan atau kontraktur fleksi mungkin mengganggu apabila distimulasi secara memadai. Nyeri dan kaku mungkin berkurang dengan pemanasan, latihan, analgetik sebelum aktivitas seksual.
6. Rokok dan alcohol
Pengkonsumsian alkohol dan rokok tembakau mengurangi fungsi seksual, khususnya bila terjadi kerusakan hepar yang akan mempengaruhi metabolisme testoteron. Merokok juga mungkin mengurangi vasokongesti respon seksual dan mempengaruhi kemampuan untuk mengalami kenikmatan.
7. Penyakit paru obstruktif kronik
Ada penyakit paru obstruktif kronik, libido mungkin terpengaruh karena adanya kelelahan umum, kebutuhan pernafasan selama aktivitas seksual mungkin dapat menyebabkan dispnoe, yang mungkin dapat membahayakan jiwa.
8. Obat-obatan
Beberapa obat-obatan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, antara lain beberapa obat anti hipertensi, estrogen, anti psikotik, sedatif, dan lain-lain.

E. Upaya mengatasi permasalahan seksual pada lansia
Untuk mengatasi beberapa gangguan baik fisik maupun psikis termasuk masalah seksual diperlukan penanganan yang serius dan terpadu. Proses penanganan ini memerlukan waktu yang cukup lama tergantung dari keluhan dan kerjasama antara pasien dengan konselor. Dari ketiga gangguan tersebut, masalah seksual merupakan masalah yang penanganannya memerlukan kesabaran dan kehati-hatian, karena pada beberapa masyarakat Indonesia terutama masyarakat pedesaan membicarakan masalah seksual adalah masalah yang tabu.



























BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN MASALAH FUNGSI SEKSUAL
A. Pengkajian
a. Identitas Klien
 Nama Klien
 Umur
 Agama
 Suku
 Pendidikan
 Alamat
 Pekerjaan
 Agama dan kepercayaan yang mempengaruhi kesehatan
 Status social ekonomi keluarga

b. Dapatkan riwayat seksual:
 Pola seksual biasanya
 Kepuasan (individu, pasangan)
 Pengetahuan seksual
 Masalah (seksual, kesehatan)
 Suasana hati, tingkat energi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh/fungsi yang ditandai dengan perubahan dalam mencapai kepuasan seksual.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan struktur tubuh terutama pada fungsi seksual yang dialaminya
Kriteria hasil:
a. Mengekspresikan kenyamanan
b. Mengekspresikan kepercayaan diri

Intervensi:
a. Bantu pasien untuk mengekspresikan perubahan fungsi tubuh termasuk organ seksual seiring dengan bertambahnya usia.
b. Diskusikan beberapa pilihan agar dicapai kenyamanan.
c. Berikan pendidikan kesehatan tentang penurunan fungsi seksual.
d. Motivasi klien untuk mengkonsumsi makanan yang rendah lemak, rendah kolestrol, dan berupa diet vegetarian
e. Anjurkan klien untuk menggunakan krim vagina dan gel untuk mengurangi kekeringan dan rasa gatal pada vagina, serta untuk megurangi rasa sakit pada saat berhubungan seksual

2. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota tubuh.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu angota tubuhnya secara positif
Kriteria hasil:
a. Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan tanpa rasa malu dan rendah diri
b. Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki
Intervensi:
a. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri berhubungan dengan keadaan angota tubuhnya yang kurang berfungsi secara normal
b. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien
c. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien
d. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain
e. Beri kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaan kehilangan
f. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien.
3. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan efek penyakit akut dan kronis
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan pola seksualitas yang disebabkan masalah kesehatannya.
Kriteria Hasil :
a. Mengidentifikasi keterbatasannya pada aktivitas seksual yang disebabkan masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi modifikasi kegiatan seksual yang pantas dalam respon terhadap keterbatasannya
Interversi :
a. Kaji factor-faktor penyebab dan penunjang, yang meliputi
 Kelelahan
 Nyeri
 Nafas pendek
 Keterbatasan suplai oksigen
 Imobilisasi
 Kerusakan inervasi saraf
 Perubahan hormone
 Depresi
 Kurangnya informasi yang tepat
b. Hilangkan atau kurangi factor-faktor penyebab bila mungkin. Ajarkan pentingnya mentaati aturan medis yang dibuat untuk mengontrol gejala penyakit
c. Berikan informasi terbatas dan saran khusus
Berikan informasi yang tepat pada pasien dan pasangannya tentang keterbatasan fungsi seksual yang disebabkan oleh keadaan sakit
Ajarkan modifikasi yang mungkin dalam kegiatan seksual untuk membantu penyesuaian dengan keterbatasan akibat sakit (saran khusus)

REHABILITASI MEDIK KOMPREHENSIF PADA USIA LANJUT DAN PENGGUNAAN OBAT PADA USIA LANJUT

A. Pengertian
Rehabilitasi merupakan semua tindakan yang bertujuan untuk mengurangi dampak disability serta handicap agar individu lansia dapat berintegrasi dalam masyarakat.
Rehabilitasi adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam pelayanan kesehatan lansia.
( British G. Society ).
Rehabilitasi merupakan suatu proses pendidikan, yang memerlukan kontinuitas yang langgeng.
(FKUI, 2000)
Rehabilitasi medic adalah proses pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan fungsional dan fisikologik dan kalau perlu mengembangkan mekanisme kompensasinya agar individu dapat mandiri.
Rehabilitasi medik adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk memulihkan atau mengoptimalkan kemampuan seseorang setelah mengalami gangguan kesehatan yang berakibat pada penurunan kemampuanfisik.

 Tujuan Rehabilitasi Medik pada Usia Lanjut
1. Memberikan pelayanan rehabilitasi medik yang komprehensif.
2. Berperan dalam mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas hidup pasien ( kesehatan, vitalitas, fisik, dan fungsi ).
3. Mencegah atau mengurangi keterbatasan ( impairment ), hambatan (disability) dan kecacatan ( handicap ).
Tujuan pokok rehabilitasi para usia lanjut bukanlah untuk mengembalikan peran mereka sebagai pencari nafkah, melaikan bagaimana mempersiapkan mereka untuk dapat menikmati ruas ahir dari kehidupannya dengan kemandirian yang maksimal.
B. Konsep Rehabilitasi Pada Usia Lanjut
Reintegrasi adalah rentetan usaha untuk kembali pada kemampuan fungsional yang pernah dimiliki. Reintegrasi terhadap kehidupan normal adalah hal yang samgat di dambakan oleh seorang pasien. Harapan inilah yang mewakili kualitas hidu yang diinginkan . upaya reintegrasi diartikan sebagai reorganisasi kondisi fisik, psikis, dan social serta spiritual menuju kesatuan yang harmonis sehingga adaptasi terhadap kehidupan dapat diperoleh, setelah mengalami sakit atau trauma.
Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa inti upaya mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup seseorang yang menderita sakit adalah yang melaksanakan upaya berdasarkan konsep rehabilitasi. Konsep rehabilitasi menyatu dan berkesinambungan dengan proses penyembuhan penyakit, termasuk berbagai reaksi dan efek samping terapi, khususnya pada penyakit geriatric.

C. Gangguan Fungsi Pada Lanjut Usia
Menjadi tua bukanlah menjadi sakit, tetapi suatu proses perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang, dimana sering dikenal dengan geriatric giant, yang meliputi antara lain :
- Immobilitas
- Instabilitas ( mudah jatuh )
- Intelektualitas terlambat ( demensia )
- Isolasi ( depresi )
- Inkontinensia
- Impotensi
- Imunodefisiensi
- Infeksi mudah terjadi
- Inpaksi ( kontipasi )
- Latrogenesis
- Insomnia
- Amputasi
- Penyakit Parkinson, metabolic, osteoporosis

Perubahan yang terjadi pada lansia dapat mengakibatkan ketidakstabilan system lokomotor atau neuromuskuler, hal ini sering kali menganggu aktivitas fungsional dalam melakukan aktivitas sehari – hari. Untuk mempertahankan system lokomotor ini sangat diutamakan. Penurunan fungsi yang berkaitan dengan diconditioning atau disuse mengakibatkan flesibilitas menurun dan pada akhirnya akan menghambat aktivitas kehidupan sehari – hari, oleh karena perlu adanya program latihan rutin untuk menjaga system neuromuskuler tersebut.

D. Pelakasanaan Rehabilitasi
Pada dasarnya falsafah dan teknik rehabilitasi pada penderita lansia tidak berbeda dengan rehabilitasi pada umumnya, demikian pula modalitas yang diberikan seperti fisioterapi, okufasiterapi, fisikologi, ortotikprostetik, terapi wicara dan social medic. Yang perlu diperhatikan adalah sasaran program haruslah tepat pada kelompok umur berapa, program rehabilitasi bisa diterapkan.
Dalam melaksanakan program rehabilitasi sering kali justru merugikan menderita dengan menberikan proteksi yang berlebihan dan tidak jarang penderita “ DIPAKSA “ berbaring dan dilayani segala kebutuhannya, dan yang lebih tidak menguntungkan lagi sering kali penderitanya sendiri “ MENIKMATI “ peayanan semacam itu, meskipun sesunguhnya dapat melakukan sendiri.
- Pada keadaan imobilisasi kira – kira 3 % kekuatan otot berkurang setiap harinya sebelumnya akan lebih cepat mengalami kemunduran karena disuse
- Keadaan seperti dekubitus, kontraktur, osteoporosis, hipotensi, ortostatik, konstipasi, thrombosis dan juga tidak kalah pentingnya berkurangnya rangsang pada system saraf sensorik yang dapat mengakibatkan munculnya keluhan kebingungan ( confusion ) keluhan ini dapat diberikan terapi modalitas berupa pemanasan baik secara alamiah maupun dengan alat diatermi seperti micro wave diathermi ( MWD ), short wave diathermi ( SWD ), Utra sound diathermi ( US ), pacu listrik dan lain – lain.
- Terapi yang bersifat aktif berupa latihan – latihan tidak disukai penderita lansia, karena dianggap seperti anak kecil dan kurang senang bila “ DIPERINTAH “ untuk melakukan sesuatu oleh orang yang mungkin usia cucunya.
- Banyak penelitian yang menunjukkan hasil positif dari latihan – latihan seperti Raab, Agre, Mc Adam, dan Smith membuktikan bahwa peningkatan kekuatan otot serta lingkup gerak sendi dapat mengurangi rasa nyeri sendi pada pemberian latihan pereganggan dan pembebanan ringan pada usia lanjut.
- Pada penelitian Sinaki dan Grubbs mengemukakan bahwa dengan peningkatkan kekuatan otot – otot paraspinal penderita post menopous dengan cara – cara sederhana yang bertujuan agar dapat memperbaiki sikap tubuh serta mencegah fraktur kompresi tulang punggung yang sudah osteoporotic
- Pada penelitian Mc Mundo dan Rennie dapat meningkatkan kekuatan otot quadriceps pemoris dengan pemberian latihan lingkup gerak sendi sambil duduk pada penghuni panti jompo sehingga mereka lebih mampu naik turun tangga pada berbagai ketinggian.

E. Program Rehabilitasi Medik
Untuk memulai program rehabilitasi medic pada penderita lansia,sebagai tenaga professional harus mengetahui kondisi lansia saat itu,baik penyakit yang menyertai maupun kemampuan fungsional yang mampu dilakukan.salah satunya di kemukakan oleh Katz, DKK yang telah menetapkan Fungsional Assessment Instrument untuk menggolongkan kemandian merawat diri pada lansia dengan berbagai macam penyakit, misal fraktur collum femoris, infark cerebri, arthritis, paraplegia, keganasan, dll. adapun aktivitas yang dinilai adalah Bathing, Dressing, Toileting, Transfering, Continence dan Feeding.
1. Program Fisioterapi
a. Aktivitas di tempat tidur
- Positioning, alih baring, latihan pasif dan aktif lingkup gerak sendi.
b. Mobilisasi
- Latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur ke kursi, berdiri, jalan
- Melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, makan, berpakaian.

2. Program okupasi terapi
Latihan ditujukan untuk mendukung aktifitas kehidupan sehari-hari, dengan memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan, atau langsung pada aktifitas yang diinginkan. Misal latihan jongkok – berdiri.

3. Program ortetik prostetik
Pada ortotis prostetis akan membuat alat penopang atau alat pengganti bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita, misal pembuatan alat diusahakan dari bahan yang ringan, model alat yang lebih sederhana sehingga mudah di pakai.

4. Program terapi bicara
Program ini kadang – kadang tidak selalu di tujukan untuk latihan bicara saja, tetapi di perlukan untuk memberi latihan pada penderita dengan gangguan fungsi menelan apabila di temukan adanya kelemahan pada otot – otot sekitar tenggorok. Hal ini sering terjadi pada penderita stroke, dimana terjadi kelumpuhan saraf fagus, saraf lidah, dll.

5. Program social medic
Petugas social medic memerlukan data pribadi maupun keluarga yang tinggal bersama lansia, melihat bagaimana struktur atau kondisi di rumahnya yang berkaitan dengan aktifitas yang di butuhkan penderita, tingkat social ekonomi. Misal seorang lansia yang tinggal dirumahnya banyak tramp/anak tangga, bagaimana bisa di buat landai/pindah kamar yang datar dan bisa deket dengan kamar mandi.

6. Program psikologi
Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan keadaan emosionalnay yang mempunyai ciri-ciri yang khas pada lansia, misal apakah seorang yang tipe agresif atau konstruktif. Untuk memberikan motifasi lansia agar lansia mau melakukan latihan, mau berkomunikasi, sosialisaai dan sebagainya.

F. Keunggulan Rehabilitasi Medik pada Usia Lanjut
1. Pendkekatan pelayanan bersifat medico – psiko – social – edukasional – vokasional yang merupakan pemenuhan aspek kebutuhan dasar manusia.
2. Penanganan oleh Tim Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik.
3. Penanganan bersifat komprehensif dan terintegrasi di suatu tempat.
4. Senantiasa menyediakan alat – alat terapi yang baru untuk menunjang pelayanan rehabilitasi medik yang lebih baik.

PENGGUNAAN OBAT SECARA RASIONAL PADA USIA LANJUT

A. Konsep Dasar Pemakaian Obat
Ada 3 faktor yang menjadi acuan dasar dalam proses pembuatan preskripsi ( peresepan obat ) :
1. Diagnosis dan patofisiologi penyakit
2. Kondisi dan konstitusi tubuh atau organ
3. Farmakologi klinik obat




Paradikma dasar dalam farmakoterapi dapat digambarkan sebagai berikut :
DOSIS KOP EFEK
( Kadar Obat Plasma )

Farmakokinetik Farmakodinamik
- Absorbsi - Kepekaan sel
- Distribusi - Respon homeostasis
- Metabolisme
- Ekskresi

Untuk memperoleh efek terapi yang optimal dengan ESO yang minimal dan biaya yang terjangkau pemberian obat haruslah rasional resiko ESO pada lansia sangat tinggi meningkat 100 sampai 300% dan kemungkinan untuk sembuh lebih kecil (menurun). Dengan demikian pemakaian obat secara rasional (POSR) akan berfungsi pula sebagai benteng terhadap kemungkinan menghadapi tuntutan malpraktek.
Tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis (cara dan lama pemberian) serta waspada ESO adalah lima kriteria pokok POSR yang telah diterima secara mondial.
( WHO,1995 ).

B. Perubahan Pada Lansia Dalam Hubungannya Dengan Obat
Berbagai perubahan tersebut dalam istilah farmakologi dikenal sebagai perubahan dalam hal farmakokinetik, farmakodinamik, dan hal khusus lain yang merubah perilaku obat dalam tubuh.
- Farmakokinetik
Farmakokinetik membahas perjalanan nasip obat dalam tubuh. Berfungsi sebagai alat prediksi terhadap besaran KOP dan efek obat. Dosis dan frekuensi pemberian obat harus menghasilkan KOP yang selalu berada dalam bingkai jendela terapi. Bila lebih besar akan terjadi efek toksik dan bila terlalu kecil obat tidak bermanfaat.
KOP ( kadar obat dalam plasma ) untuk usia berubah menjadi lebih besar atau lebih kecil dari pada standar
Perubahan – perubahan farmakoginetik akibat proses menua dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini:
a. Absorpsi
Praktis absorpsi obat dari lambung dan usus secara kesaluruhan tidak mengalami perubahan yang berarti. Penurunan faskularisasi dan motilitas usus tidak mengurangi jumlah yang diabsorpsi ( kuantitatif ).
Misalnya obat obat kelompok penyekat beta.
b. Distribusi
Adalah penyabaran obat keseluruh tubuh melaliu lintas kompartemen. Setelah obat masuk kedalam darah sebagian akan terikat oleh protein plasma darah, sebagian tetap bebas. Jadi ada fraksi obat terikat (FOT) dan fraksi obat bebas ( FOB ) yang mengalami distribusi keseluruh jaringan tubuh hanyalah FOB. Diantara FOB dan FOT terjadi keseimbangan yang dinamis.

Absorbsi Organ

Eliminasi

Protein plasma darah pada lansia telah mengalami perubahan dimana kadar albumin menurun dan kadar alfa / acid glycoprotein bertambah. Keadaaan ini mengubah proporsi FOT dan FOB obat – obat yang bersifat asam FOBnya akan meningkat.

- Metabolisme
Eliminasi obat menjadi lebih kecil dan lebih lambat karena massa, aliran darah sudah berkurang, kapasitas fungsi hevar pada lansia menurun banyak. Metabolism obat di hevar berlangsung dengan katalis atau aktivitas enzim mocrosoma hevar. Aktivitas enzim ini dapat dirangsang oleh obat ( Inducer ) dan dapat pula di hambat oleh inhibitor. Obat – obat yang dapat mengalami di hevar misalanya paracetamol, salisilat, diazepam, prokain, propanolol, quidine, warvarin, eliminasinya akan menurun oleh karena kemunduran kapisitas fungsi hevar bila obat – obat tersebut diberikan bersama – sama dengan obat inhibitor enzim maka proses eliminasi obat akan bertambah lambat. KOP dan T1/2 meningkat bersama sama.
Obat obat yang termasuk enzim inhibitor adalah : alopurinol, INH, penyekat He, simetidin, krorampenikol, eritromisin, profoksipen, valproat, ciproploksasin, metronidazole, penilbutazon, sulponamide, Ca antagonis.
Obat – obat yang termasuk enzim enducer adalah : rimpamizin, luminal, diazepam, penitoin, karbamazepin, alcohol, nikotin, gluthethimide. Pada pemakaian kronis efek enducer dan inhibitor baru efektif setelah kira – kira satu minggu.

- Ekresi
Merupakan aliran darah filtrasi glomeruli dan sekresi tubuli ginjal terus mengalami reduksi yang terkorelasi dengan pertambahan umur. Pada usia 90 tahun kapasites ginjal tinggal -> 35 %. Konsekuensi dari penurunan fungsi ginjal ini adalah eliminasi obat berkurang sehingga pada pemberian obat berkurang sehingga pada pemberian obat dengan dosis atau prekuensi lazim KOP dalam darah akan menjadi lebih besar dan pemberian obat dieliminasi lewat ginjal perlu diperhitungkan dengan cermat seperti aminoglikosida, digoxsin, obat anti diabetic oral, simetidin dan lain – lain.

Untuk keperluan perhitungan fungsi ginjal dipakai normogram Siersbaerk – Nielsen atau dengan rumus :
Cr.CL ( cc/menit ) = ( 140 – umur ) x BB ( kg )
72 x Cr. Plasma
Untuk wanita, hasil dikalikan dengan 0,85
- Farmakodinamik
Adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Obat menimbulkan rentetan reaksi biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor sampai dengan efektor. Pada umunya obat – obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimiawi seluler intensitas pengaruhnya akan menurun misal agonis beta untuk terapi asma bronchial diperlukan dosis yang lebih besar. Sebaliknya obat – obat yang cara kerjanya menghambat proses biokimiawi seluler pengaruhnya akan menjadi nyata sekali berlebih – lebih dengan mekanisme regulasi homeostatis yang melemah, efek farmakologi obat dapat sangat menonjol sehingga toxsik. Misal obat – obat antagonis beta, anti kolinergik, antipsikotik, antiansietas dll.

- ESO
Kejadian eso pada lansia meningkat 2 sampai 3 kali lipat. Paling banyak menimpa system gastrointestinal dan system hymopoetik. Penelitian atau pengukuran fungsi ginjal, hevar, KOP darah terlebih – lebih dalam terapi polifarmasi sangat membantu dalam mengendalikan atau menurunkan angka kejadian ESO.
Sejak lama diketahui bahwa lansia lebih peka terhadap ESO dari analgetik menjadi bingung walaupun KOPnya masih setandar. Peningkatan FOB dan kepekaan farmakodinamik adalah penyebabnya, mungkin juga penurunan fungsi selebral ikut berperan.

C. Perubahan Psikologik Dalam Komposisi Tubuh
a. Berat badan total : akan menurun pada usia lanjut akibat penurunan jumlah cairan intraseluler sesuai dengan meningkatnya usia.
b. Penurunan masa otot : terdapat pada usia lanjut akan mengakibatkan distribusi obat yang sebagian besar terikat otot akan menurun.
c. Peningkatan kadar lemak tubuh : akan mengakibatkan peningkatan kadar obat yang larut lemak terutama pada wanita lansia.
d. Penurunan kadar albumin : pada penderita lansia yang sakit menyebapkan penurunan ikatan obat dengan protein dan meningkatnya proporsi obat bebas di sirkulasi.
e. Kekambuhan penyakit yang sebelumnya laten
Beberapa obat dapat membuat kambuh berbagai penyakit yang sebelumnya tak terlhat, misal :
 Menurunya stabilitas postural
 Konstipasi
 Hipotermia

D. Rasionalisasi Obat Pada Usia Lanjut
Pemberian obat pada lansia haruslah selalu diupayakan serasional mungkin dengan cara-cara seperti berikut :
a. Rejimen pengobatan
1. Peride pengobatan jangan di buat terlalu lama agar bisa diadakan evaluasi secepatnya.
2. Jumlah/ jenis obat haruslah dibuat seminimal mungkin.
3. Frekuensi pemberian obat harus di upayakan sedikit mungkin kalau mungkin sekali sehari.
b. Pengurangan dosis
Sebagai patokan umum dosis obat pada lansia sebaiknya dikurangi, dosis awal obat adalah kira – kira lebih sedikit dari separuh dosis yang diberikan pada usia muda
c. Peninjau ulang pengobatan
Golongan lansia sering kali tidak menepati janji control ulangan karera keterbatasan gerak, ketiadaan angkutan, tidak ada yang mengantar, ataupun takut pergi sendiri, sehinga sering kali penderita kehabisan obat atau sebaliknya mengulang resep tampa sepengetahuan dokter.
d. Kepatuhan penderita
Penelitian menunjukan bahwa obat yang diresepkan tidak selalu sama dengan obat yang di minum. “The exent to which the patient’s behavior coincides with medical or health advice”, penderita dianggap tidak patuh bila “penderita gagal mengikuti petunjuk sedemikian sehingga mengganggu tujuan terapeutik yang di harapkan.

posyandu lansia

A. POSYANDU USILA DAN KEGIATANNYA
Sesuai dari pengertian di atas tentang Posyandu dan usila maka Posyandu Usila dapat diartikan sebagai wadah atau tempat kegiatan pelayanan kesehatan dasar bagi usila atau lansia yang bertujuan untuk membantu mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi lansia yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam hal ini pihak PKK desa dengan dibantu pihak kesehatan. Adapun secara umum adanya Posyandu Usila bertujuan :
1. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan untuk lansia di masyarakat
2. Mendekatkan pelayanan seta menumbuhkan peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan pada lansia.
kegiatan Posyandu Usila bisa dilaksanakan dengan lima meja sama dengan Posyandu Balita, yaitu :
Meja I :Pendaftaran
Meja II :pengukuran dan penimbangan berat badan
Meja III ;Melakukan pencatatan tentang pengukuran tinggi badan dan berat badan. Indek massa tubuh ( IMT ) dan mengisi KMS.
Meja IV :Kegiatan Penyuluhan, konseling dan pelayanan pojok gizi
serta pemberian PMT
Meja V :Pemeriksaan Kesehatan dan pengobatan, mengisi data-data hasil pemeriksaan kesehatan pada KMS
Setiap kunjungan lansia dianjurkan untuk selalu membwa KMS lansia guna memantau status kesehatan.
Kegiatan lain yang biasanya juga dilakukan adalah senam lansia yang bertujuan untuk meningkatkan kebugaran bagi lansia.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk para usia lanjut agar kesehatannya tetap terjaga, ia harus melakukan kegiatan seperti :

1. Olah raga (aktif secara fisik)
Seiring bertambahnya usia melakukan aktivitas fisik merupakan tantangan yang berat. Akan banyak hambatan untuk memulainya, namun sama halnya dengan dewasa muda, dewasa tua juga memerlukan aktivitas fisik seperti orang lain, setidaknya sebanyak yang dilakukan oleh dewasa muda. Faktanya, kehilangan tenaga dan stamina yang terjadi pada saat usia lanjut disebabkan oleh berkurangnya aktifitas fisik
Olah raga merupakan hal terpenting untuk menjaga kebugaran tubuh. Olah raga yang baik adalah olah raga yang dilakukan secara rutin dan bertahap. Aktifitas fisik / olah raga yang baik untuk semua orang dewasa sedikitnya 30 menit, dan melakukan olah raga sedang dalam lima hari atau lebih dalam satu minggu. Aktifitas jantung paru (cardiorespitory), peregangan dan latihan beban sangat direkomendasikan untuk kelompok usia lanjut. Secara umum dapat melakukan kombinasi ketiga aktifitas tersebut
* Aktifitas Jantung paru : melakukan olahraga berbentuk aerobik intensitas sedang 3-5 hari per minggu sekurang-kurangnya 30 menit setiap sesi.
* Lakukan peregangan (stretching) setiap hari
* Latihan beban (2-3 hari per minggu)
Contoh-contoh dan pilihan aktifitas yang dapat dilakukan oleh para usila yaitu: Jantung Paru, Latihan Beban, Peregangan, Berjalan, Mengangkat beban, Stretching, Berenang, Mengangkat cucian, atau barang belanjaan.
2. Diet
Seiring bertambahnya usia, nutrisi yang baik memegang peranan penting bagi kesehatan anda. Konsumsi makan-makanan rendah garam, rendah lemak ditambah dengan buah-buahan, sayuran dan makanan berserat dapat mengurangi risiko terkena penyakit jantung, diabetes, stroke, osteoporosis dan penyakit kronik lainnya. Dengan konsumsi jenis makanan yang beraneka ragam, anda dengan mudah mendapatkan nutirisi yang diperlukan tubuh anda, termasuk :
a. Karbohidrat, sumber nya didapat dari gula seperti sukrosa (gula pasir), fruktosa (gula yang terdapat dalam buah-buahan), dan laktosa (gula dalam susu).
b. Protein, dapat didapat dari daging hewan, ikan telur, kacang kedelai, susu, kacang-kacangan dan produk produk daging rendah lemak.
c. Lemak, merupakan salah satu yang sangat penting bagi tubuh, lemak digunakan bagi tubuh untukproduksi energi, pertumbuhan baik badan dan otak dan memelihara pergantian jaringan. Lemak sendiri terbagi atas 3 golongan asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh tunggal dan asam lemak tak jenuh ganda. Komsumsi lemak merupakan factor penting dalam kesehatan jantung. Mengurangi komsumsi lemak tak jenuh dalam porsi makanan akan meningkatkan kesehatan anda.
d. air, untuk mengganti cairan yang hilang setelah beraktifitas, komsumsi air putih minimal 6-8 gelas / hr
e. Antioksidan, merupakan suatu zat yang dapat melindungi sel dari radikal bebas yang dapat merusak dan membuat peradangan pada sel tubuh kita. Yang termasuk antioksidan adalah karoten (yang memberikan warna cerah pada sayuran), vitamin C, vitamin E, magnesium, folat, lutein, Lycopene. Semua antioksidan diatas terdapat di daging ikan (salmon), buah-buahan dan sayuran yang mempunyai warna yang cerah (tomat, wortel, brokoli, paprika, bayam, dll).
3. aktifitas sosial
Tetap berhubungan dengan teman, keluarga dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan emosional dan mental anda. Dapat dilakukan dengan mengikuti kegiatan di sekitar lingkungan tempat tinggal seperti arisan, kerja bakti, atau kegiatan sosial di tempat anda bekerja.
4. aktifitas metal
Jaga dan tingkatkan ketajaman daya ingat dan mental dengan cara :
• Latih kemampuan otak dengan membaca, mempelajari sesuatu yang baru, mengisi teka-teki silang, melakukan permainan (catur, domino, kartu remi, dll). Sama seperti tubuh, otak yang aktif akan terus berkembang dan sehat.
• Tetap menjaga ingatan anda setiap waktu dengan menulis tanggal, nama dan informasi lainnya yang mudah dilupakan. Taruh barang-barang penting seperti kacamata, kunci, di tempat spesifik.
• Mencegah timbulnya depresi. Dapat dilakukan dengan melakukan olahraga rutin, ikut dalam kegiatan sosial, hindari alkohol dan obat-obatan penenang, makan-makanan yang sehat. Apabila mendapat serangan dan tidak dapat dikontrol segera minta pertolongan medis.
• Tidak merokok. Merokok dapat mempercepat penurunan mental seseorang.


B. KMS (KARTU MENUJU SEHAT) LANSIA)
Kartu Menuju Sehat Lansia adalah sebuah kartu catatan tentang perkembangan status kesehatan yang dipantau setiap kunjungan ke Posyandu Usila atau berkunjung ke Puskesmas yang meliputi pemantauan kesehatan fisik dan emosional serta deteksi dini atas penyakit atau ancaman kesehatan yang dihadapi lansia. Pemeriksaan yang dicatat pada KMS Lansia adalah :
1. Grafik Indeks Massa Tubuh (IMT) tentang berat badan dan tinggi badan ( pemeriksaan status gizi )
2. Pemeriksaan aktivitas sehari-hari (kegiatan dasar seperti mandi, makan/minum,tidur, buang air besar / kecil dan sebagainya.
3. Pemeriksaan status mental dan emosional yang dilakukan oleh dokter
4. Pengukuran tekanan darah
5. Pemeriksaa Hemoglobin.
6. Reduksi urine untuk kadar gula pada air seni sebagai deteksi penyakit kencing manis (diabetes mellitus).
7. Pemeriksaan protein urine guna detiksi penyakit ginjal
8. Catatan keluhan dan tindakan. Sekiranya ada permasalahan kesehatan yang perlu pengobatan saat itu atau perlu untuk rujukan ke Puskesmas.
Selain pencatatan tersebut terdapat anjuran untuk hidup sehat yang digunakan untuk penyuluhan yang disampaikan setiap selesai pemeriksaan kesehatan

C. PERMASALAHAN
Dalam pelaksanaannya masih terdapat masalah-masalah yang menghambat berkembangnya Posyandu Usila, diantaranya :
1. Pihak Pemerintah/Institusi : Permasalahan yang ada biasanya adalah belum dijadikannya program ini sebagai program unggulan sehingga di dalam satu wilayah kecamatan hanya terbentuk 1 atau 2 Posyandu Usila ”percobaan” saja
2. Masyarakat : tingkat pengethuan masyarakat yang masih kurang tentang manfaat posyandu usila yang dilihat dari sedikitnya kunjungan serta pemanfaatan kegiatan posyandu usila ketika di buka / dilaksanankan.
3. Petugas : Belum siapnya petugas baik kader dan petugas kesehatan bagaimana bentuk pelaksanaan kegiatan Posyandu Usila dalam hal ini perlu adanya pelatihan bagi petugas kesehatan dan kader Posyandu Usila.
4. Jarak : Jauhnya lokasi Posyandu dengan rumah Lansia akan mempersulit jangkauan dan memungkinkan kurangnya rasa aman bagi lansia ketika mencapai lokasi.
5. Dukungan keluarga yang kurang : Keluarga merupakan motivator untuk keaktifan lansia untuk berkunjung ke Posyandu dengan cara mengantar mereka ke lokasi Posyandu Lansia.
6. Sarana dan prasarana yang kurang : Peralatan yang minim memungkinkan kegiatan tidak bisa optimal.

D. REKOMENDASI
Guna kelancaran pelaksanaan Posyandu Usila serta untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas diperlukan :

1) Dukungan Pemerintah/institusi terkait dengan menempatkan program Posyandu Usila sebagai salah satu program pendukung pembangunan kesehatan di wilayahnya.

2) Meningkatkan promosi kesehatan tentang Posyandu Usila di masyarakat.

3) Melatih petugas kesehatan dan kader Posyandu Usila tentang bagaimana kegiatan Posyandu Usila.

4) Menempatlkan lokasi Posyandu Usila yang mudah dijangkau semua lansia.

5) Melakukan advokasi kepada tokoh masyarakat guna mendapatkan dukungan untuk pembentukan Posyandu Usila.

6) Melengkapi sarana dan prasarana standar untuk kegiatan Posyandu Usila guna mendukung pemeriksaan kesehatan seperti tercantum pada KMS Lansia/Usila.





DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999, Kartu Menuju Sehat (KMS) Lansia. Jakarta : Depkes RI
Nugroho.W. ,2000. Keperawatan Gerontik. Jakarta : Gramedia
www.iinaza.wordpress.com : All About Posyandu
www.library.usu.ac.id : Posyandu dan Kader Kesehatan
www.gizi.ned : Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu
www.puskesmas-oke.blogspot.com : Pengelolaan Posyandu Lansia
www.damandiri.or.id. /file/ratnasuhartini

konsep dasar perawatan gerontik

A. Definisi
Ilmu keperawatan gerontik berasal dari kata ilmu+keperawatan +gerontik. Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan,didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan,berbentuk pelayanan bio,psiko,sosial dan spiritual yang komperehensif,ditujukan pada individu,keluarga dan masyarakat,baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.Berdasarkan definisi di atas,maka yang menjadi perhatian keperawatan adalah empat elemen utama(mayor elemen),yaitu:
1. Keperawatan adalah ilmu dan kiat
Sebagai sains ia lebih merupakan sains terapan(applied science),menggunakan pengetahuan,konsep,dan prinsip-prinsip dari berbagai kelompok ilmu,khususnya fisika dan biologi yang termasuk biomedik,juga ilmu perilaku dan ilmu sosial.Sains dari keperawatan sendiri yang merupakan sintesis dari ilmu-ilmu dasar tersebut sedabng berada dalam proses pertumbuhan dan pengembangan.
2. keperewatan adalah profesi yang berorientasi kepada pelayanan
Pada hakikatnya kegiatan atau tindakan keperawatan bersifat membantu(assisstive in nature).perawat membantu klien atau masyarakat untuk mengatasi efek dari masalah sehat sakit(health illnes problem) pada kehidupan sehari-harinya.
3. keperawatan mempunyai empat tingkat klien
Empat tingkat tesebut adalah:
a. pasien atau klien secara individual,yang merupakan pusat dari asuhan keperawatan di rumah sakit dan klinik.
b. keluarga yang merupakan unit fokus pelayanan dari praktik kesehatan komunitas.
c. Kelompok
d. komunitas
4. Pelayanan keperawatan mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan
Pelayanan keperawatan dilakukan oleh perawat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lain dalam mencapai tujuan promosi dan pembinaan kesehatan,pencegahan penyakit,diagnosis dini dan pengobatan segera,penyembuhan dan kesembuhan dari penyakit atau kecelakaan,serta rehabilitasi.
Gerontik berasal dari kata:gerontologi+geriatrik.gerontologo adalah cabang ilmu yang membahas atau menangani proses enuaan dan masalah yang timbul pada orang yang telah berusia lanjut.Geriatrik berkaitan dengan penyakit atau kecacatan yang terjadi pada orang yang berusia lanjut.Keperawatan geriatri adalah praktek keperawatan yang berkaitan dengan penyakit pada proses penuaan.sedangkan keperawatan gerontik adalah suatu pelayanan profesional yang berdasarkan ilmu dan kiat atau teknik keperawatan ayng berbentuk bio,psiko,sosial,spirtual,dan kultural yang holistik yang ditujukan pada klien usia lanjut,baik sehat maupun sakit pada tingakat individu,keluarga ,kelompok,dan masyarakat.

PROSES PENUAAN DAN PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANSIA
Proses penuaan merupakan proses alamiah setelah tiga tahap kehidupan, yaitu masa anak, masa dewasa, dan masa tua yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu. Pertambahan usia akan menimbulkan perubahan – perubahan pada struktur dan fisiologi dari berbagai sel/jaringan/organ dan sistem yang ada pada tubuh manusia. Proses ini menjadikan kemunduran fisik maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, penururan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, dan kelainan berbagai fungsi organ vital. Sedangkan kemunduran psikis terjadi peningkatan sensitifitas emosional, menurunnya gairah, bertambahnya minat terhadap diri, berkurangnya minat terhadap penampilan, meningkatnya minat terhadap material, dan minat kegiatan rekreasi tidak berubah ( hanya orientasi dan subjek saja yang berubah ). Namun, hal diatas tidak harus menimbulkan penyakit. Oleh kerena itu , lansia harus senantiasa berada dalam kondisi
yang di artikan sebagai kondisi :
1. Bebas dari penyakit fisik, sehat, mental dan sosial.
2. Mampu melakukan atifitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3. Mendapatka dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat.
Ada dua proses penuaan, yaitu penuaan secara primer dan penuaan secara sekunder. Penuaan primer akan terjadi bilaterdapat perubahan pada tingkat sel, sedangkan penuaan sekunder merupakan proses penuaan akibat faktor lingkungan fisik dan sosial, stres psikis/fisik, serta gaya hidup dan diet dapat memprcepat proses menjadi tua. Secara umum, perubahan psikologis proses penuaan adalah sebagai berikut.
1. Perubahab mikro merupakan perubahan yang terjadi dalam sel seperti:
a. Berkurangnya cairan dalam sel
b. Berkurangnya ukuran sel
c. Berkurangnya jumlah sel
2. Perubahan makro, yaitu perubahan yang jelas dapat di amati atau terlihat seperti :
a. Mengecilnya kelenjar mandibula
b. Menipisnya diskus intervertebralis
c. Erosi pada permukaan sendi-sendi
d. Terjadi osteoporosis
e. Otot-otot mengalami atrofi
f. Sering di jumpai adanya emfisema polmonum
g. Presbiopi
h. Adanya anteriosklerosis
i. Menopause pada wanita
j. Adanya demensia senilis
k. Kulit tidak elastis lagi
l. Rambut memutih.
Karakteristik penyakit yang di jumpai pada lansia
1. Penyakit yang sering multipel, saling berhubungan satu sama lain
2. Penyakit yang bersifat degenaratif,sering menimbulkan kecacatan
3. Gejala sering tidak jelas, dan berkembang secara perlahan
4. Masalah psikologi dan sisial sering timbulbersamaan
5. Lansia sangat peka terhadap infeksi akut
6. Sering terjadi enyakit yang bersifat iatrogenik

LINGKUP ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK
Fenomena yang menjadi bidang garapan keperawatan gerontik adalah Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia pada lansia sebagai akibat prses penuaan. Lingkup asuhan keperawatan keperawatan gerontik meliputi :
1. Ketidak mampuan pencegahan akibat proses penuaan
2. Perawatan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akibat proses penuaan
3. Pemulihan ditujukan untuk mengatasi keterbatasan ssebagai akibat proses penuaan

PERAN DAN FUNGSI PERAWAT GERONTIK
Dalam praktinya dalam menangani kasus gerontik,perawat melakukan peran dan fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai care giver atau pemberi asuhan keperawatan secara langsung
2. Sebagai pendidik klien lansia
3. Sebagai motivator klien lansia
4. Sebagai advokat klien
5. Sebagai konselor atau memberi konseling pada klien lansia

TANGGUNG JAWAB PERAWAT GENOTIK
Tanggung jawab perawat gerontik antara lain :
1. Membantu klien memperoleh kesehatan secara optimal
2. Membantu klien lansia memelihara kesehatanya
3. Membantu klien menerima keadaanya
4. Membantu klien lansia menghadapi ajal dengan di perlakukanya secara manusiawi sampai meninggal.


TUGAS PERKEMBANGAN PADA LATE ADULTHOOD
Tugas perkembangan pada late adulthood antara lain :
1. Menerima penurunan dan keerbatasan
2. Menyasuaikan dengan masa pensiun
3. Mengatur pola hidup yang teroganisir
4. Menerima kehilangan dan kematian dengan tentram (Erikson’s, Tahap integrity versus despair)


SIFAT PELAYANAN DAN MODEL PEMBERIAN KEPERAWATAN
Berikut ini akan di jelaskan mengenai sifat pemberihan asuhan keperwatan serta model yang biasanya di gunakan.
Sifat pemberian asuhan keperawatan
Sifat pemberian yang di berikan antara lain :
1. Indepenent, yaitu perawat gerontik yang melakukan asuhan keperawatan pada klien lansia di lakukan secara mandiri.
2. Interdependent, yaitu dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien lansia di lakukan melalui kerja sama dengan tim kesehatan.
3. Humanistik, yaitu dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien lansia memandang sebagai mahluk yang perlu untuk di berikan secara layak dan manusiawi.
4. Holistik, yaitu klien lansia memiliki kebutuhan yang utuh, baik bio, psiko, sosial dan spiritual yang mempunyai karakteristik berbeda-beda antara satu dengan yang lainya.



Model Pemberian Asuhan Keperawatan
Model pemberian asuhan kerawatan profesional yang di berikan adalah dalam bentuk model asuhan keperawatan dan model manajerial. Model asuhan keperawatan yang di terapkan pada lansia pada keperawatan gerontik belum ada yang sesuai, tetapi model yang mudah di terima adalah model dari S. Callista Roy (Adaptation Model Of Nursing), di mana Callista Roymemandang klien sebagai suatu sistem adaptasi. Tujuan dari keperawatan adalah membantu seorang lansia untuk beradaptasi terhadap suatu pemenuhan kebutuhan kebutuhan psikologis, konsep diri suatu fungsi peranya, dan berhubungan interpendensi selama sehat sakit (Marinner dan Tomery, 1994). Masalah asuhan keperawatan muncul ketika klien tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan internal dan eksternal. Seluruh individu harus beradaptasi terhadap kebutuhanya, kebutuhan tersebut antara lain kebutuha fisiologis dasar, pengembangan kkonsep diri positif, penampilan peran sosial, serta pencapaian keseimbangan antara kemandirian dan ketergantungan.
Perawat menentukan apakah kebutuhan di atas menyababkan timbulnya masalah bagi klien dan mengkaji bagaimana klien baradaptasi terhadap hal tersebut. Asuhan keperawatan di berikan dengan tujuan untuk membantu klien untuk beradaptasi. Sedangkan pada model manjerial perlu di pertimbangkan dari segi ketenangan, visi, misi dan tujuan yang ada pada organisasi pelayanan keperawatan.
















BAB III
PERUBAHAN-PAERUBAHAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS PADA PROSES PENUAAN

A. PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA PROSES PENUAAN
Perubahan kondisi fisik pada lansia meliputi : perubahan dari ke tingkat sel ke semua sistem organ tubuh, di antaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, urogenital, endokrin dan integumen. Masalah fisik sehari-hari yang sering di temukan pada lansia di antaranya lansia mudah jatuh, mudah lelah, kekacauan mental akut, nyeri pada dada, berdebar debar, sesak nafas pada punggung, nyeri sendi pinggul, sulit tidur, sering pusing, berat badan menurun, gangguan pada fungsi penglihatan, pendengaran, dan sulit menahan kencing.
Beberapa fungsi sistem organ yang terjadi akibat proses penuaan :
1. Keseluruhan
berkurangnya tinggi dan berat badan, bertambahnya fat to lean body, mass ratio, dan berkurangnya cairan tubuh.
2. Sistem integumen
kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang elastis karena menurunya cairan, hilangnya jaringan adiposa, kulit pucat, dan terdapatnya bintik-bintik hitam akibat menurunya aliran darah ke kulit. Menurunya sel-sel memproduksi pigmen, kuku jari tangan dan kaki menjadi tebal dan serta mudah rapuh. Pada wanita usia lebih dari 60 tahun, rambut wajah meningkat, rambut menipis atau botak, warna rambut kelabu, serta kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.
3. Temperatur tubuh
Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek menggigil, dan tidak bisa memproduksi panas yang banyak di akibatkan oleh rendahnya aktivitas otot
4. Sistem muskular
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang, pengecilan otot menurunannya serabut otot.
5. Sistem kardiovaskuler
Katub jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% pertahun, dan brkurangnya curah jantung.
6. Sistem perkemihan
Ginjal menecil, nefron menjadi trofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, filtrasi glomerolus menurun hingga 50%, fungsi tubulus berkurang mengakibatkan kurang mampu memekatkan urin, BJ urin menurun, proteinuria, BUN meningkat, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih menurun 200 ml karena otot yang melemah, frekuensi berkemih meningkat, kandung kemih sulit di kosongkan pada pria akibat retensi urin meningkat, pembesaran prostat (75 % usia di atas 65 tahun), bertambahnya glomeruli yang abnormal, berkurangnya creatine clearance, berkurangnya aliran darah renal, berkurangnya osmolalitas urin maksimal, berat ginjal menurun 30-50 %, jumlah nefron menurun, dan kemampuan memekatakan atau mengencerkan urin dalam ginjal menurun.
7. Sistem pernafasan
Oto-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunya aktifitas silia, berkurangnya elastisitas paru, alveoli ukuranya melebar dari biasanya, jumlah alveoli berkurang, oksigen arteri menurun menjadi 75 mmHg, CO2 pada arteri tidak berganti, berkurangnya maximal oxygen uptake, dan berkurangnya reflek batuk.
8. Sistem gastro intestinal
Kehilangan gigi, indra pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan lambung mennurun, peristaltik melemah, sehingga dapat mengakibatkan konstipasi, kemampuan absopsi menurun, hati mengecil, produksi saliva menurun, serta produksi HCL dan pepsin menurun pada lambung.
9. Rangka tubuh
Osteartritis, hilangnya zat pembentuk tulang (bone substance)
10. Sistem penglihatan
Kornea lebih berbentuk sferis, sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar ; lensa menjadi keruh ; meniingkatnya ambang pengamatan sinar (daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat cahaya gelap); berkurang atau hilangnya daya akomodasi; menurunya lapang pandang (berkurang luas pandangan, berkurang sensitivitas terhadap warna: menurunya kemampuan membedakan warna hijau atau biru pada skaladepth percepption).
11. Sistem penndengaran
Presbiakusis atau penurunan pendengaran, membran timpany menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis, penumpukan serumen, sehingga mengeras karena meningkatnya keratin,perubahan degeneratifosikel, bertambahnya obstruksi tuba eustachii, berkurangnya prsepsi nada tinggi, berkurangnya ‘pitch’ diserimination.
12. Sistem persyarafan
Berkurangnya berat otak sekitar 10-20%, berkurangnya sel kortikal, reaksi menjadi lambat, kurang sensitif terhadap sentuhan, berkurangnya aktivitas sel T, bertambahnya waktu jawaban motorik, hantaran neuron motorik melemah, dan kemunduran fungsi saraf otonom.
13. Sistem endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun, fungsi paratyroid dan sekresinya tidak berubah, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, dan LH. Menurunya aktivitas tiroid akibat basal metabolisme menurun, menurunya produksi aldosterol, mennurunya sekresi hormon gonand (progesteron, estrogen, sldosteron) bertambahnya insulin, norefinefrin, parathormone, vasopresin, berkurangnya tritotironin, dan psikomotor menjadi lambat.
14. Sistem reproduksi
Selaput lendir vagina menurun atau kering, menciutnya ovarium dan uterus, atrofi payudara, testis masih dapat memproduksi sperma meskipun penurunan secara berangsur-angsur dan dorongan seks menetap sampai di atas usia 70 tahun asalkan kondisi kesehatan tetap baik, penghentian produksi ovum saat menoupouse.
15. Daya pengecap dan pembauan
menurunya kemampuan untukmelakukan pengecapan dan pembauan, sensitivitas terhadap empat rasa menurun (gula, garam, mentega, dan asam) setelah usia 50 tahun.

B. PERUBAHAN PSIKOLOGIS PADA PROSES PENUAAN
Pada umumnya lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Perubahan – perubahan mental ini erat sekali kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan, dan situasi lingkungan. Intelegesi diduga secara umum makin mundur terutama faktor penolakan abstrak, mulai lupa terhadap kejadian baru, masih terekam baik kejadian masa lalu. Dari segi mental dan emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman, dan cemas. Adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Munculnya perasaan kurang mampu untuk mandiri sarta cenderung untuk bersifat introvert. Faktor – faktor yang mempengaruhi perubahan kondisi mental diantaranya :
a. Pertama – tama perubahan fisik, khususnya organ perasa
b. Kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan ( hereditas )
e. Lingkungan
f. Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan, dan ketulian
g. Gangguan konsep diri akan kehilangan jabatan
h. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga
i. Hilangnya kekuatirian dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri, dan konsep diri

C. PERUBAHAN PSIKOSOSIAL
Masalah perubahan psikososial serta reaksi individu terhadap perubahan ini sangat beragam, bergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan. Orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja, mendadak dihadapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan masa pensiun. Bila ia cukup beruntung dan bijaksana, maka ia akan mempersiapkan diri dengan menciptakan berbagai bidang minat untuk memanfaatkan waktunya, masa pensiunnya akan memberikan kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya. Namun, bagi banyak pekerja, pensiun berarti terputus dari lingkungan, teman-teman uang akrab, dan disingkirkan untuk duduk-duduk dirumah atau bermain domino di klub pria lanjut usia.
Perubahan yang mendadak dalam kehidupan akan membuat mereka merasa kurang melakukan kegiatan yang berguna, perubahan yang mereka alami diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Minat
Pada umumnya pada masa usia lanjut minat seseorang akan berubah dalam kuantitas maupun kualitasnya. Lazimnya minat dalam aktivitas fisik cenderung menurun dengan bertambahnya usia. Kendati perubahan minat pada lansia jelas berhubungan dengan menurunnya kemampuan fisik, tidak dapat diragukan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
2. Isolasi dan kesepian
Banyak faktor bergabung, sehingga membuat orang berusia lanjut terisolasi dari yang lain. Secara fisik, mereka kurang mampu mengikuti aktifitas yang melibatkan usaha. Makin menurunnya kualitas organ indra yang mengakibatkan ketulian, penglihatan yang kabur, dan sebagainya. Selanjutnya membuan lansia merasa terputus dari hubungan dengan orang-orang lain. Faktor lain yang membuat isolasi seakin menjadi lebih parah adalah perubahan sosial, terutama meregangnya ikatan kekeluargaan. Bila lansia tingal bersama sanak saudaranya, mereka mungkin bersikap toleran terhadapnya, tetapi jarang menghormatinya. Lebi sering terjadi lansia menjadi terisolasi dalam arti kata yang sebenarnya, karna ia hidup sendiri.semakin lanjut usianya, kemampuan mengendalikan perasaan dengan akal melemah, dan orang cenderung kurang dapat mengekang dari dalam perilakunya.frustasi kecil pada tahap usia yang lebih mudah tidak menimbulkan masalah,pada tahap ini membangkitkan luapan emosi dan mereka mungkin bereaksi dengan ledakan amarah atau sangat tersingggung terhadap peristiwa-peristiwa yang menurut kita sepele.
3. Peranan iman
Menurut proses fisik dan mental, pada usia lanjut memungkinkan orang yang sudah tua tidak begitu membenci dan merasa khawatir dalam memandang ahir kehidupan dibanding orang yang lebih muda. Namun demikian, hamir tidak dapat disangkal bahwa iman yang teguh adalah senjata yang paling ampuh untuk melawan rasa takut terhadap kematian. Usia lanjut memang merupakan masa dimana kesadaran religius dibangkitkan dan diperkuat. Keyakinan iman yang menunjukan bahwa kematian bukanlah ahir, tetapi merupakan permulaan yang baru memungkinkan individu menyongsong ahir kehidupan dengan tenang dan tentram.
4. Perubahan kognitif
Perubahan pada fungsi kognitif diantaranya adalah kemunduran pada tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan tugas yang memerlukan memori jangka pendek, kemampuan intelektal tidak mengalami kemunduran, dan kemampuan verbal dalam bidang vocabulary ( kosa kata ) akan menetap bila tidak ada penyakit yang menyertai.
5. Perubahan spiritual
Perubahan yang terjadi pada aspek spiritual lansia adalah sebagai berikut.
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya ( maslow, 1970 ).
b. Usia lanjut makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini telihat dalam cara berpikir dan bertindak dalam sehari-hari ( murray dan zentner, 1970 ).
c. Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut fowler adalah universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai dan bersikap adil.





























DAFTAR PUSTAKA
 http://nurse87.wordpress.com. Asuhan Keperawatan Pada Lansia
 http://www.masbied.com/2011/03/14/konsep-medis-askep-pada-lansia

 Martono, Hadi. 2009. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri. Jakarta : FKUI Edisi

 Mubarak, Wahit Iqbal . 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika
 Parsudi, Imam A. 1999. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI

mastoiditis

A. Definisi
Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis (Kep.Medikal-Bedah : 348)
Mastoiditis adalah segala proses peradangan pada sel- sel mastoid yang terletak pada tulang temporal. Biasanya timbul pada anak-anak atau orang dewasa yang sebelumnya telah menderita infeksi akut pada telinga tengah. Gejala-gejala awal yang timbul adalah gejala-gejala peradangan pada telinga tengah, seperti demam, nyeri pada telinga, hilangnya sensasi pendengaran, bahkan kadang timbul suara berdenging pada satu sisi telinga (dapat juga pada sisi telinga yang lainnya).
(http://hennykartika.wordpress.com/2009/01/25/mastoiditis/)
Mastoiditis merupakan keradangan kronik yang mengenai rongga mastoid dan komplikasi dari Otitis Media Kronis. Lapisan epitel dari telinga tengah adalah sambungan dari lapisan epitel sel-sel mastoid udara (mastoid air cells) yang melekat ditulang temporal. Mastoiditis adalah penyakit sekunder dari otitis media yang tidak dirawat atau perawatannya tidak adekuat.
(H. Nurbaiti Iskandar ,1997)
Mastoiditis adalah infeksi akut dan kronik yang mengenai mukosa dan sel – sel mastoid, yang merupakan kelanjutan dari proses Otitis media akut supuratif yang tidak teratasi. Karena telinga tengah berhubungan dengan mastoid, maka otitis media kronik sering kali disertai mastoiditis kronik.
Mastoiditis adalah segala proses peradangan pada sel- sel mastoid yang terletak pada tulang temporal.

B. Etiologi
Mastoiditis disebabkan oleh kuman-kuman aerob dan anaerob, yaitu :
1. Kuman aerob
a. Positif gram : S. Pyogenes, S. Albus
b. Negatif Gram : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli
2. Kuman anaerob : Bakteroides spp
Mastoiditis terjadi karena Streptococcus ß hemoliticus / pneumococcus. Selain itu kurang dalam menjaga kebersihan pada telinga seperti masuknya air ke dalam telinga serta bakteri yang masuk dan bersarang yang dapat menyebabkan infeksi traktus respiratorius. Pada pemeriksaan telinga akan menunjukkan bahwa terdapat pus yang berbau busuk akibat infeksi traktus respiratorius.
Mastoiditis merupakan hasil dari infeksi yang lama pada telinga tengah, bakteri yang didapat pada mastoiditis biasanya sama dengan bakteri yang didapat pada infeksi telinga tengah. Bakteri gram negative dan streptococcus aureus adalah beberapa bakteri yang paling sering didapatkan pada infeksi ini. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa keadaan-keadaan yang menyebabkan penurunan dari sistem imunologi dari seseorang juga dapat menjadi faktor predisposisi mastoiditis. Pada beberapa penelitian terakhir, hampir sebagian dari anak-anak yang menderita mastoiditis, tidak memiliki penyakit infeksi telinga tengah sebelumnya. Bakteri yang berperan pada penderita anak-anak ini adalah S. Pnemonieae.Seperti semua penyakit infeksi, beberapa hal yang mempengaruhi berat dan ringannya penyakit adalah faktor tubuh penderita dan faktor dari bakteri itu sendiri.

C. Patofisiologi
Mastoiditis adalah hasil dari infeksi yang lama pada telinga tengah, bakteri yang didapat pada mastoiditis biasanya sama dengan bakteri yang didapat pada infeksi telinga tengah. Streptococcus aureus adalah beberapa bakteri yang paling sering didapatkan pada infeksi ini. Seperti telah disebutkan diatas, bahwa keadaan-keadaan yang menyebabkan penurunan dari system imunologi dari seseorang juga dapat menjadi faktor predisposisi mastoiditis. Seperti semua penyakit infeksi, beberapa hal yang mempengaruhi berat dan ringannya penyakit adalah faktor tubuh penderita dan faktor dari bakteri itu sendiri. Dapat dilihat dari angka kejadian anak-anak yang biasanya berumur di bawah dua tahun, pada usia inilah imunitas belum baik. Beberapa faktor lainnya seperti bentuk tulang, dan jarak antar organ juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit. Faktor-faktor dari bakteri sendiri adalah, lapisan pelindung pada dinding bakteri, pertahanan terhadap antibiotik dan kekuatan penetrasi bakteri terhadap jaringan keras dan lunak dapat berperan pada berat dan ringannya penyakit.

D. Manifestasi klinis
Nyeri dan nyeri tekan di belakang telinga. Bengkak pada mastoid.
Gejala dari keluhan penyakit didapatkan keluarnya cairan dari dalam telinga yang selama lebih dari tiga minggu, hal ini menandakan bahwa pada infeksi telinga tengah sudah melibatkan organ mastoid. Gejala demam biasanya hilang dan timbul, hal ini disebabkan infeksi telinga tengah sebelumnya dan pemberian antibiotik pada awal-awal perjalanan penyakit. Jika demam tetap dirasakan setelah pemberian antibiotik maka kecurigaan pada infeksi mastoid lebih besar. Rasa nyeri biasanya dirasakan dibagian belakang telinga dan dirasakan lebih parah pada malam hari, tetapi hal ini sulit didapatkan pada pasien-pasien yang masih bayi dan belum dapat berkomunikasi. Hilangnya pendengaran dapat timbul atau tidak bergantung pada besarnya kompleks mastoid akibat infeksi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
• Kemerahan pada kompleks mastoid
• Keluarnya cairan baik bening maupun berupa lendir (warna bergantung dari bakteri)
• Matinya jaringan keras (tulang, tulang rawan)
• Adanya abses (kumpulan jaringan mati dan nanah)
• Proses peradangan yang tetap melebar ke bagian dan organ lainnya.
• Riwayat infeksi pada telinga tengah sebelumnnya.
Pemeriksaan penunjang yang dapat diminta adalah, pemeriksaan kultur mikrobiologi, pengukuran sel darah merah dan sel darah putih yang menandakan adanya infeksi, pemeriksaan cairan sumsum untuk menyingkirkan adanya penyebaran ke dalam ruangan di dalam kepala. Pemeriksaan lainnnya adalah CT-scan kepala, MRI-kepala dan foto polos kepala.
E. Komplikasi
Menurut H. Nurbaiti Iskandar. (1997), komplikasi dari mastoiditis adalah :
1. Abses retro aurikula
2. Paresis/paralisis syaraf fasialis
3. Labirintitis
4. Komplikasi intra kranial: meningitis, abses extra dural, abses otak.

Menurut http--emedicine_medscape_com-article-966099-overview.htm,
komplikasi dari mastoiditis aadalah :
1. Posterior ekstensi ke sigmoid sinus, yang menyebabkan trombosa
2. Berhubung dgn kuduk perpanjangan ke tulang, yang membuat sebuah
3. osteomyelitis dari calvaria atau Citelli abscess
4. Unggul ekstensi ke belakang berhubung dgn tengkorak lekuk, ruang subdural, dan meninges
5. Anterior ekstensi ke akar zygomatic
6. Lateral extension to form subperiosteal abscess
7. Inferior ekstensi untuk membentuk sebuah Bezold abscess
8. Di tengah-tengah perpanjangan ke puncak kaku
9. Intratemporal keterlibatan saraf wajah dan / atau labirin

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari mastoditis dalah :
1. Laboratorium
a. Spesimen dari sel mastoid diperoleh selama operasi dan myringotomy cairan, bila diperoleh, harus dikirim untuk budaya untuk kedua bakteri aerobik dan anaerobic, Gram staining, dan asam-cepat staining.
Jika selaput anak telinga yang sudah berlubang, kanal eksternal dapat dibersihkan, dan contoh yang segar drainase cairan diambil.
Perawatan harus diambil untuk mendapatkan cairan dari telinga dan bukan eksternal kanal.
Budaya dan kelemahan dari pengujian isolates dapat membantu memodifikasi terapi antibiotik empiris awal. Hasil benar budaya dikumpulkan untuk kedua aerobik dan anaerobic bakteri panduan yang pasti harus pilihan terapi.
Gram noda yang dapat contoh awalnya panduan empiris antimicrobial therapy.
b. Darah budaya harus diperoleh.
c. Dasar yang CBC count dan sedimentasi menilai ditentukan kemudian untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi.
d. Memperoleh cairan tulang belakang untuk evaluasi jika intracranial perpanjangan proses diduga.
2. CT Scan dan MRI
Yang sensitif dari CT di mastoiditis akut adalah 87-100%. Anda mungkin terlalu sensitif karena setiap AOM memiliki komponen radang mastoid. Segera CT scan intracranial kapanpun diperlukan adalah perpanjangan atau komplikasi yang dicurigai. Bukti yang digambarkan oleh mastoiditis Tampilan kekaburan atau kerusakan yang mastoid garis besar dan penurunan atau hilangnya ketajaman dari sel udara mastoid bertulang septa. Dalam kasus di mana CT scan menunjukkan kesuraman dari udara sel, yang technetium-99 bone scan adalah membantu dalam mendeteksi osteolytic perubahan.
Plain radiography yang diandalkan, dan hasil temuan gejala klinis ketinggalan di belakang. Di daerah-daerah di dunia di mana CT scan tidak segera tersedia, plain radiography dari mastoids mengungkapkan clouding udara dari sel-sel dengan kerusakan tulang di ASM. Dalam sebagian besar kasus, radiography mencukupi untuk membuat diagnosis tetapi tidak sensitif dalam differentiating tahapan dari penyakit dan gagal mengungkapkan apex kaku dalam setiap detail besar.
Temuan berikut ini digunakan untuk membedakan AOM dan / atau tanpa osteitis akut mastoiditis kronis dan mastoiditis akut :
1. Clouding atau kekaburan dari sel udara mastoid dan telinga tengah dapat hadir. Hal ini disebabkan oleh kobaran pembengkakan dari mucosa dan dikumpulkan cairan.
2. Hilangnya ketajaman atau visibilitas mastoid dinding sel karena demineralization, atrophia, atau kebekuan dari bertulang septa
3. Kekaburan mastoid atau distorsi dari garis besar, mungkin dengan cacat terlihat dari tegmen atau mastoid bozonty
4. Peningkatan bidang formasi abscess
5. Ketinggian dari periosteum dari proses mastoid atau lekuk bokong berhubung dgn tengkorak
6. Osteoblastic aktivitas di mastoiditis kronis
7. MRI lebih sering digunakan pada pasien dengan gejala klinis atau CT temuan yang bernada intracranial komplikasi. Namun, MRI tidak secara rutin digunakan untuk mengevaluasi mastoid.
8. MRI adalah standard untuk evaluasi menyebelah lunak jaringan, khususnya struktur intracranial, untuk mendeteksi dan ekstra-aksial cairan koleksi dan vascular yang terkait masalah.
9. MRI adalah membantu dalam perencanaan bedah perawatan efektif.
3. Tympanocentesis dan myringotomy Myringotomy mungkin awalnya dilakukan, diikuti dengan terapi antibiotik.
4. Culturing tengah-cairan telinga sebelum antimicrobial therapy adalah keharusan. Meskipun penggunaan mikroskop operasi yang dirancang secara khusus dan sedotan perangkap memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu.
5. Kanal yang mensterilkan dengan antiseptik. Dengan anak terkendali, aspirate cairan dari anterior setengah dari selaput anak telinga.
6. Melakukan lumbar menusuk tulang belakang dan keran jika intracranial perpanjangan dari infeksi diduga.

G. Penatalaksanaan Medis
Biasanya gejala umum berhasil diatasi dengan pemberian antibiotik, kadang diperlukan miringotomi. Jika terdapat kekambuhan akibat nyeri tekan persisten, demam, sakit kepala, dan telinga mungkin perlu dilakukan mastoidektomi. Tatalaksana pengobatan dengan obat-obatan seperti antibiotik, anti nyeri, anti peradangan dan lain-lainnya adalah lini pertama dalam pengobatan mastoiditis. Tetapi pemilihan anti bakteri harus tepat sesuai dengan hasil test kultur dan hasil resistensi. Pengobatan yang lebih invasif adalah pembedahan pada mastoid. Bedah yang dilakukan berupa bedah terbuka, hal ini dilakukan jika dengan pengobatan tidak dapat membantu mengembalikan ke fungsi yang normal.

BAB III
PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian data dasar
1. Riwayat Kesehatan
a. Identitas Pasien
b. Riwayat adanya kelainan nyeri
c. Riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang
d. Riwayat alergi
e. OMA berkurang
2. Pengkajian Fisik
a. Nyeri telinga
b. Perasaan penuh dan penurunan pendengaran
c. Suhu Meningkat
d. Malaise
e. Nausea Vomiting
f. Vertigo
g. Ortore
h. Pemeriksaan dengan otoskop tentang stadium
3. Pengkajian Psikososial
a. Nyeri otore berpengaruh pada interaksi
b. Aktifitas terbatas
c. Takut menghadapi tindakan pembedahan
4. Pemeriksaan Laboratorium
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes Audiometri : pendengaran menurun
b. X ray : terhadap kondisi patologi
Misal : Cholesteatoma, kekaburan mastoid
6. Pemeriksaan pendengaran
a. Tes suara bisikan
b. Tes garputala

B. Pathway
Bakteri Infeksi penurunan system imunologi

penurunan
system imunologi

Keradangan pada mukosa kavum timpani pada
otitis media supuratif akut

mukosa antrum mastroid

peradangan pada tulang /mastoiditis
Mastoiditis adalah segala proses peradangan pada sel- sel mastoid yang terletak pada tulang temporal. Biasanya timbul pada anak-anak atau orang dewasa yang sebelumnya telah menderita infeksi akut pada telinga tengah.

C. Diagnosa
1. Nyeri berhubungaan dengan proses peradangan
2. Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran
3. Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dnegan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di saraf pendengaran.
4. Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
5. Kurang pengetahuan tentang penyakit mastoid, prosedur bedah, dan perawatan pascaoperatif dan harapan.

D. Interfensi
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri berhubungaan dengan proses
peradangan
Tujuan : Nyeri yang dirasakan klien berkurang
Kriteria hasil :
 Klien mengungkapkan bahwa rasa nyeri berkurang.
 Klien mampu melakukan metode pengalihan suasana.
Intervensi Keperawatan :
a. Ajarkan Klien untuk mengalihkan suasana dengan melakukan metode relaksasi saat nyeri yang teramat sangat muncul, relaksasi yang seperti menarik nafas panjang.
Rasional : Metode pengalihan suasana dengan melakukan relaksasi
bisa mengurangi nyeri yang diderita klien.
b. Kompres dingin di sekitar area telinga
Rasional : Kompres dingin bertujuan untuk mengurangi nyeri karena
rasa nyeri teralihkan oleh rasa dingin disekitar area telinga.
c. Atur posisi klien
Rasional : Posisi yang sesuai akan membuat klien merasa lebih
nyaman.
d. Untuk kolaborasi, beri aspirin/analgesik sesuai instruki, beri sedatif sesuai indikasi
Rasional : Analgesik merupakan pereda nyeri yang efektif pada
pasien untuk mengurangi sensasi nyeri dari dalam.
2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan berkomunikasi berhubungan
dengan efek kehilangan pendengaran.
Tujuan : Gangguan komunikasi berkurang / hilang.
Kriteria hasil :
 Klien akan memakai alat bantu dengar (jika sesuai).
 Menerima pesan melalui metoda pilihan (misal : komunikasi tulisan,
bahasa lambang, berbicara dengan jelas pada telinga yang baik.
Intervensi Keperawatan :
a. Dapatkan apa metode komunikasi yang diinginkan dan catat pada rencana perawatan metode yang digunakan oleh staf dan klien, seperti : tulisan, berbicara, bahasa isyarat.
Rasional : Dengan mengetahui metode komunikasi yang diinginkan
oleh klien maka metode yang akan digunakan dapat
disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan klien.
b. Kaji kemampuan untuk menerima pesan secara verbal.
a) Jika ia dapat mendengar pada satu telinga, berbicara dengan perlahan dan dengan jelas langsung ke telinga yang baik (hal ini lebih baik daripada berbicara dengan keras).
• Tempatkan klien dengan telinga yang baik berhadapan dengan pintu.
• Dekati klien dari sisi telinga yang baik.
b) Jika klien dapat membaca ucapan :
• Lihat langsung pada klien dan bicaralah lambat dan jelas.
• Hindari berdiri di depan cahaya karena dapat menyebabkan
klien tidak dapat membaca bibi anda.
c) Perkecil distraksi yang dapat menghambat konsentrasi klien.
• Minimalkan percakapan jika klien kelelahan atau gunakan
komunikasi tertulis.
• Tegaskan komunikasi penting dengan menuliskannya.
d) Jika ia hanya mampu bahasa isyarat, sediakan penerjemah. Alamatkan semua komunikasi pada klien, tidak kepada penerjemah. Jadi seolah-olah perawat sendiri yang langsung berbicara kepada klien dnegan mengabaikan keberadaan penerjemah.
Rasional : Pesan yang ingin disampaikan oleh perawat
kepada klien dapat diterima dengan baik oleh
klien.
c. Gunakan faktor-faktor yang meningkatkan pendengaran dan pemahaman.
a) Bicara dengan jelas, menghadap individu.
b) Ulangi jika klien tidak memahami seluruh isi pembicaraan.
c) Gunakan rabaan dan isyarat untuk meningkatkan komunikasi.
d) Validasi pemahaman individu dengan mengajukan pertanyaan
yang memerlukan jawaban lebih dari ya dan tidak.
Rasional : Memungkinkan komunikasi dua arah anatara perawat
dengan klien dapat berjalan dnegan baik dan klien dapat
menerima pesan perawat secara tepat.
3. Diagnosa Keperawatan : Perubahan persepsi/sensoris berhubungan
dengan obstruksi, infeksi di telinga tengah
atau kerusakan di saraf pendengaran.
Tujuan : Persepsi / sensoris baik.
Kriteria hasil : Klien akan mengalami peningkatan
persepsi/sensoris pendengaran sampai pada
tingkat fungsional.
Intervensi Keperawatan :
a. Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.
Rasional : Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe
gangguan / ketulian, pemakaian serta perawatannya yang
tepat.
b. Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
Rasional : Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka
pendengaran yang tersisa sensitif terhadap trauma dan
infeksi sehingga harus dilindungi.
c. Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
Rasional : Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap
masalah-masalah pendengaran rusak secara permanen.
d. Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
Rasional : Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat
menyebabkan organisme sisa berkembang biak sehingga
infeksi akan berlanjut.
4. Diagnosa Keperawatan : Cemas berhubuangan dengan prosedur
operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
Tujuan : Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Klien mampu mengungkapkan
ketakutan/kekhawatirannya.
Intervensi Keperawatan :
a. Mengatakan hal sejujurnya kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi.
Rasional : Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan, justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat. Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.
b. Berikan informasi mengenai kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien.
Rasional : Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman
yang sama akan sangat membantu klien.
c. Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien.
Rasional : Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada
disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk
berkomunikasi.
5. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan tentang penyakit
mastoid, prosedur bedah, dan
perawatan pascaoperatif dan harapan.
Tujuan :
o Menurunkan ansietas pasien
o mengetahui tingkat ansietas pasien.
Kriteria Hasil :
 Individu akan menunjukkan bebas dari rasa taknyamanan.
 Mengetahui faktor ansietas
Intervensi Keperawatan :
a. Memberikan dorongan pada pasien untuk membahas setiap ansietas
atau beban yang dirasakan.
Rasional : Menambah pengetahuan untuk mengatasi.ansietas.
b. Kolaborasi dengan ahli bedah otologi tentang prosedur bedah
mastoidektomi
Rasional : Untuk mengangkat sebagian tulang sekitar mastoid dan
pembuangan nanah.
PENUTUP

Mastoiditis adalah infeksi bakteri dalam proses mastoideus, tulang menonjol di belakang telinga.
Gangguan ini biasanya terjadi ketika tidak diobati atau tidak diobati otitis media akut menyebar dari telinga tengah ke dalam proses-sekitar tulang mastoid.
Biasanya, gejala muncul hari sampai minggu setelah otitis media akut berkembang, sebagai penyebaran infeksi menghancurkan bagian dalam proses mastoideus. Sebuah kumpulan nanah (abses) dapat terbentuk di tulang. Kulit meliputi proses mastoideus bisa menjadi merah, bengkak, dan tender, dan telinga eksternal didorong samping dan ke bawah. Gejala lainnya adalah demam, sakit di sekitar dan di dalam telinga dan keluarnya cairan, krim sebesar-besarnya dari telinga. Rasa sakit cenderung persisten dan berdenyut-denyut. Kehilangan pendengaran bisa menjadi semakin buruk.
Computed tomography (CT) menunjukkan bahwa sel-sel udara (ruang dalam tulang yang biasanya berisi udara) dalam proses mastoideus diisi dengan cairan. Sebagai mastoiditis berlangsung, ruang memperbesarMastoiditis tidak diobati dapat menyebabkan ketulian, keracunan darah (sepsis), infeksi jaringan selaput otak (meningitis), abses otak, atau kematian.
Pengobatan dengan antibiotik diberikan oleh vena. Contoh debit telinga diperiksa untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi dan untuk menentukan antibiotik yang paling mungkin untuk menghilangkan bakteri. Antibiotik dapat diberikan melalui mulut sekali orang yang mulai pulih dan akan dilanjutkan selama sedikitnya 2 mingguJika abses telah terbentuk di tulang, drainase bedah (mastoidectomy) diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
o Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. EGC. Jakarta.
o Diane C. Baughman, JoAnn C. Hackley: Keperawatan Medikal-Bedah: buku saku untuk Brunner dan Suddarth; Jakarta: EGC, 2000
o George L, Adams. 1997. BOEIS : Buku ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC. Jakarta.
o http://hennykartika.wordpress.com/2009/01/25/mastoiditis/
o http://www.merck.com/mmhe/sec19/ch220/ch220h.html
o Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan RSUD Dr Soetomo Surabaya

HIPERTENSI PADA LANSIA DENGAN

A. PENGERTIAN
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001)

Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah naiknya tekanan pada pembuluh darah arteri. Hipertensi terutama diakibatkan oleh dua faktor utama, yang dapat hadir secara independen atau bersama-sama, yaitu : (Silbernagl S dan Lang F, 2000)
1. Daya pompa jantung dengan kekuatan yang besar.
2. Pembuluh darah kecil (arteriol) menyempit, sehingga aliran darah memerlukan tekanan yang besar untuk melawan dinding pembuluh darah tersebut.

B. KLASIFIKASI
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 )
1) Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg
2) Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg
Kalsifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu
 Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
 Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain

C. ETIOLOGI
Askep Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan – perubahan pada :
a) Elastisitas dinding aorta menurun
b) Katub jantung menebal dan menjadi kaku
c) Kemampuan jantung memompa darah menurun
d) 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa
e) darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
f) Kehilangan elastisitas pembuluh darah
g) Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
h) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Faktorke turunan; Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
b. Ciri perseorangan; Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
1) Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
2) Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
3) Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
4) Kebiasaan hidup Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
 Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )
 Kegemukan atau makan berlebihan
 Stress
 Merokok
 Minum alkohol
 Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah ; Ginjal, Glomerulonefritis,Pielonefritis, Nekrosistubularakut,Tumor,Vascular,Aterosklerosis,Hiperplasia,
TrombosisAneurisma,Embolikolestro,Vaskulitis,Kelainan,endokrn,DM,Hipertiroidisme,Hipotiroidisme,Saraf,Stroke,Ensepalitis,SGB,Obatobatan, Kontrasepsi, oral, Kortikosteroid

D. PAFISIOLOGI

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi
Oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo,1999).

E. TANDA DAN GEJALA
Tanda Dan Gjala Hipertensi Dibedakan Menjadi ;
1) Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2) Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
Menurut Rokhaeni ( 2001 ),
manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :
a. Mengeluh sakit kepala,
b. Pusing
c. Lemas
d. Kelelahan
e. Sesak nafas
f. Gelisah
g. Mual
h. Muntah
i. Epistaksis
j. Kesadaran menurun

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
2) Pemeriksaan retina
3) Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti ginjal dan jantung
4) EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri
5) Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa
6) Pemeriksaan : renogram, pielogram intravena arteriogram renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urine.


G. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
1. Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
a. Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
a). Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
b). Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
c). Penurunan berat badan
d). Penurunan asupan etanol
e). Menghentikan merokok
f). Diet tinggi kalium
b. Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
a). Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain
b). Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Denyut nadi maksimal dapat ditentukan dengan rumus 220 – umur
c). Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan
d). Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
c. Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
a). Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi
gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
b). Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
d. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
2. Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai
obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
a. Step 1 : Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
b. Step 2 : Alternatif yang bisa diberikan
1) Dosis obat pertama dinaikkan
2) Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
3) Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
c. Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh
1) Obat ke-2 diganti
2) Ditambah obat ke-3 jenis lain
d. Step 4 : Alternatif pemberian obatnya
1) Ditambah obat ke-3 dan ke-4
2) Re-evaluasi dan konsultasi












H. Pathway




















BAB II









PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Kelemahan , letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
Tanda : Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, episode palpitasi, perspirasi
Tanda : Kenaikan tekanan darah, hipotensi postural nadi: denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis, perbedaan denyut seperti femoral melambat sebagai kompensasi denyutan radialis atau brakialis, denyut popliteal, tibialis posterior, pedalis posterior, pedalis tidak teraba dan lemah. Denyut apikal, PMI kemungkinan bergeser dan atau sangat kuat.
Frekuensi atau irama, takikardi, berbagai distritmia. Bunyi jantung terdengar S2 pada dasar S3, S4. Murmur stenosis valvular. Desiran vaskuler terdengar di atas karotis, femoralis atau epigastrium. Distensi vena jugularis, kongesti vena. Ekstremitas : perubahan warna kulit, suhu dingin, kulit pucat, sianosis dan diaporesis.
c. Integritas Ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euforia atau marah kronik.
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinu perhatian tangisan yang meledak
Gerakan tangan empati, otot muka tegang, gerakan fisik cepat, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara.
d. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu
e. Makanan / Cairan
Gejala : Makanan yang disukai, yang dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol, gula-gula yang berwarna hitam, kandungan tinggi kalori, mual, muntah. Perubahan BB akhir-akhir ini.
Tanda : Berat badan normal atau obesitas.
Adanya edema, glikosuria

f. Neurosensori
Gejala : Keluhan pening / pusing
Berdenyut, sakit kepala suboksipitalis, episode kebas / kelemahan pada satu sisi tubuh.
Gangguan penglihatan
Episode epitaksis
Tanda : Status normal, perubahan keterjagaan, orientasi, pola atau isi bicara, afek proses pikir atau memori, respon motorik, penurunan kekuatan genggaman tangan / reflek tendon dalam perubahan retina optik, dari sklerosis / penyempitan arteri ringan sampai berat dan perubahan sklerotik, dengan edema atau papiledema, eksudat dan hemoragi tergantung pada berat atau lamanya hipertensi.
g. Nyeri / ketidaknayaman
Gejala : Angina
Nyeri hilang timbul pada tungkai
Sakit kepala oksipital berat
Nyeri abdomen / massa

h. Pernafasan
Gejala : Dispnea yang berkaitan aktivitas / kerja., takipnea, ortopnea, dispnea nocturnal poroksimal. Batuk dengan atau tanpa pembentukan sputum. Riwayat merokok
Tanda : Distres respirasi / penggunaan otot aksesori pernafasan bunyi nafas tambahan, sianosis.
i. Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi / cara berjalan
j. Pembelajaran / penyuluhan
Gejala : Faktor resiko keluarga, hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM, penyakit serebrovaskuler / ginjal. Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormon lain, penggunaan obat / alkohol.
(Doenges , 2000 ; 39)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri ( akut ) sakit kepala pada keluarga Ny.P berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit hipertensi.
2. Resiko injuri berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga memodifikasi lingkungan.
3. Kurang pengetahuan tentang penyakit hipertensi pada keluarga ny.p berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan.
4. Resiko cidera (perdarahan pada pembuluh darah di otak) berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit tekanan darah tinggi
5. Resiko terjadinya penyakit (DHF & ISPA) berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam memelihara lingkungan rumah


C. INTERVENSI
Diagnosa keperawatan I
Nyeri ( akut ) sakit kepala berhubungan ketidakmampuan keluarga merawat keluarga yang sakit hipertensi
Tujuan umum.
Tiak ada gangguan rasa nyeri
Tujuan khusus
1. Kelurga mampu mengenal masalah penyakit hipertensi
Kriteria :
a. Kognitif ; Standart
Keluarga mampu menjelaskan kembali tentang definisi, etiologi, tanda gejala dan penatalaksanaan hipertensi.
Intervensi :
1) Kaji penetahuan keluarga tentang penyakit hipertensi
2) Beri penjelasan / pendididkana kesehatan tentang definisi, etiologi, tanda gejala dan penatalaksanaan hipertensi
3) Berai contoh makanan yang dapat menurunkan hipertensi
4) Motivasi keluarga untuk megulang kembali tentang definisi, etiologi, tanda gejala dan penatalaksanaan hipertensi.
5) Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien.
2. Keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah hipertensi .
Kriteria :
a. Kognitif; Standart:
Keluarga mampu menjelaskan kembali akibat dari hipertensi jika tidak ditangani .
b. Afektif.; Standart :
Keluarga meyakini akibat lanjut dari hipertensi jika tidak ditangani .
c. Psikomotor; Standart:
Keluarga mau mengobatkan klien untuk mencegah komplikasi .
Intervensi:
1) Jelaskan akibat lanjut dari hipertensi jika tidak ditangani.
2) Diskusikan bersama keluarga tentang komplikasi dari hipertensi.
3) Motivasi keluarga untuk membuat keputusan mengatasi masalah hipertensi.
4) Beri reinforcement positif atau keputusan yang diambil oleh keluaga.
3. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang sakit hipertensi.
Kriteria:
a. Kognitif ; Standart
Keluaga mampu menjelaskan kembali tentang penatalaksanaan hipertensi.
b. Afektif.
Keluaga mau merawat anggota keluaga yang sakit hipertensi .
c. Psikomotor.
Keluarga mampu redemonstrasi.
Intervensi
1) Diskusikan bersama keluarga tentang diit untuk pasien hipertensi.
2) Demonstrasikan cara pembuatan jus seledri.
3) Motivasi keluarga untuk redemonstrasi jus seledri.
4. Keluarga mampu memodifikasi lingkungan untuk menanam tumbuhan yang bisa menurunkan hipertensi.
Kriteria:
a. Kognitif ; Standart :
Keluarga mampu menjelaskan kembali tanaman yang bisa menurunkan hipertensi.
b. Afektif.; Standart :
Keluarga meyakini bisa memanfatkan lahan kosong untuk menanam tanaman yang bisa menurunkan hipertensi.
c. Psikomotor; Standart
Keluarga mau menanam tanaman yang bisa menurunkan hipertensi.
Intervensi
1) Diskusikan dengan keluaga kerugian dari lahan kosong.
2) Diskusikan bersama keluarga tanaman yang bisa menurunkan hipertensi yang bisa ditanam dipekarangan
3) Motivasi keluarga untuk memodifikasi lingkungan.
5. Keluarga dapat memanfatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
Kriteria.
a. Kognitif.; Standart :
Keluarga mampu menjelaskan manfaat pelayanan kesehatan dan keberadaannya.
b. Afektif ; Standart :
Keluarga meyakini bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan berguna untuk penyakit Hipertensi.
c. Psikomotor.
Keluarga mau mengunjungi pelayanan kesehatan terdekat untuk mengatasi masalah penyakit hipertensi.
Intervensi
1) Jelaskan pada keluarga tentang fasilitas yang ada dipelayanan kesehatan.
2) Diskusikan bersama keluarga tentang manfaat pelayanan kesehatan bagi kesahatan .
3) Motivasi keluarga untuk mengunjungi pelayanan kesehatan yang ada.
Diagnosa Keperawatan ke II
Resiko injuri berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga memodifikasi lingkungan.
Tujuan umum:
Resiko injuri tidak terjadi
Tujuan khusus:
Keluarga mampu memodifikasi lingkungan untuk mencegah nyeri.
Kriteria:
a. Kognitif.; Standart
Keluarga mampu menjelaskan lingkungan yang baik untuk mencegah nyeri.
b. Afektif.; Standart
Keluarga meyakini bahwa lingkungan yang baik bisa mencegah nyeri.
c. Psikomotor.; Standart
Keluarga mau memodifikasi lingkungan.
Intervensi:
1) Diskusikan bersama keluarga lingkungan yang baik untuk pasien hipertensi.
2) Anjurkan keluarga untuk memodifikasi lingkungan.
3) Motivasi keluarga untuk menata ruangan yang baik.
4) Beri reinforcement positif atau kemauan keluarga untuk menata lingkungan.




Diagnosa Keperawatan III
Kurang pengetahuan tentang penyakit hipertensi pada berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga memanfaatkan pelayanan Kesehatan.
Tujuan umum :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan keluarga tentang Penyakit hipertensi akibat ketidakmampuan keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan teratasi.
Tujuan khusus :
Keluarga mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada .
Kriteria
a. Kognitif; Standart :
Keluarga mampu menjelaskan manfaat dari pelayanan kesehatan.
b. Afektif; Standart :
Keluarga menyadari pentingnya pelayanan kesehatan untuk mengobati penyakitnya.
c. Psikomotor; Standart
Keluarga mau mengunjungi pelayanan kesehatan untuk mengontrol hipertensinya.
Intervensi:
1) Jelaskan pentingnya pelayanan kesehatan untuk mengontrol penyakit hipertensi.
2) Diskusikan bersama keluarga tentang manfaat pelayanan kesehatan.
3) Beri motivasi keluarga unntuk mengunjungi pelayanan kesehatan.
4) Beri reinforcement positif atas kemauan klien untuk mengunjungi pelayanan kesehatan.
Diagnosa Keperawatan IV
Resiko cidera (perdarahan pada pembuluh darah di otak) berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit tekanan darah tinggi
Tujuan; keluarga mampu merawat anggota keluarga yang sakit hipertensi sehingga resiko cidera ( perdaraha pada pembuluh darah di otak) tidak terjadi
Intervensi:
1) jelaskan kepada keluarga tentang kemungkinan penyebab tejadi peningkatan tekanan darah.
2) Jelaskan tentang tanda/ gejala terjadinya peningkat an tekanan darah.
3) Jelaskan tentang akibat dari peningkatan tekanan darah.
4) Jelaskan kepada keluarga tentang diet pada panderita tekanan darah tinggi.
5) Obsevarsi kemampuan keluarga setelah mendapat penjelasan dari petugas.
6) Anjurkan kepada keluarga untuk memeriksakan diri secara teratur.
7) Motivasi penderita untuk mengurangi garam dalam setiap makanan.
8) Anjurkan kepada keluarga untuk menyediakan makanan yang sesuai dengan diet.

Diagnosa Keperawatan V
Resiko terjadinya penyakit (DHF & ISPA) berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam memelihara lingkungan rumah
Tujuan;
keluarga mampu untuk memelihara lingkungan rumah dan resilko terkena penyakit ( DHF & ISPA ) tidak terjadi
Intervensi ;
1) Jelaskan kepada keluarga tentang syarat rumah yang sehat.
2) Jelaskan kepada keluarga tentang hal-hal dapat terjadi akibat rumah yang kurang sehat (lembab, kurang sinar matahari, bak mandi jarang dikuras).
3) Diskusikan dengan keluarga tentang pembagian tugas dalam menjaga kebersihan rumah.
4) Anjurkan kepada keluarga untuk membuka jendela, melipat baju yang bergan- tungan.
5) Anjurkan kepada keluarga untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan rumah.
6) Beri pujian untuk tindakan yang tepat.

D. Implementasi
Pada tahap ini, perawat yang mengasuh keluarga sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua profesi kesehatan yang menjadi tim perawatan kesehatan di rumah. Peran perawat yang dilaksanakan adalah sebagai koordinator. Namun, perawat juga dapat mengambil peran sebagai pelaksana asuhan keperawatan.
Pada kegiatan implementasi, perawat perlu melakukan kontrak sebelumnya (saat mensosialisasikan diagnosis keperawatan) untuk pelaksanaan yang meliputi kapan dilaksanakan, berapa lama waktu yang dibutuhkan, materi atau topik yang didiskusikan, siapa yang melaksanakan, anggota keluarga yang perlu mendapat informasi (sasaran langsung implementasi) dan (mungkin) peralatan yang perlu disiapkan keluarga. Kegiatan ini bertujuan agar keluarga dan perawat mempunyai kesiapan secara fisik dan psikis pada saat implementasi.
Langkah selanjutnya adalah implementasi sesuai dengan rencana dengan didahului perawat menghubungi keluarga bahwa akan dilakukan implementasi sesuai kontrak.

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Bila hasil evaluasi tidak atau berhasil sebagian, perlu disuusn rencana keperawatan yang baru. Perlu diperhatikan juga bahwa evaluasi perlu dilakukan beberapa kali dengan melibatkan keluarga sehingga perlu pula direncanakan waktu yang sesuai dengan kesediaan keluarga.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional dengan pengertian S adalah ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan. O adalah keadaan objectif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan atau pengamatan yang obyektif setelah implementasi keperawatan. A merupakan analisis perawat setelah mengetahui respons subyektif dan obyektif keluarga yang dibandingkan dengan kriteria dan standar yang telah ditentukan mengacu pada tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
Pada tahap ini ada dua evaluasi yang dapat dilaksanakan oleh perawat yaitu evaluasi formatif yang bertujuan untuk menilai hasil implementasi secara bertahap sesuai dengan kegiatan yang dilakukan sesuai kontrak pelaksanaan dan evaluasi sumatif yang bertujuan menilai secara keseluruhan terhadap pencapaian diagnosis keperawatan apakah rencana diteruskan, diteruskan sebagian, diteruskan dengan perubahan intervensi atau dihentikan.
















DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, R. Boedhi. Buku Ajar Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ), Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 1999

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical – surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

http://gerontiklansia.blogspot.com/2008/09/asuhan-keperawatan-pada-lansia-dengan.htm

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=491


http://diyoyen.blog.friendster.com/2008/09/hipertensi-pada-lansia/

http://httpyasirblogspotcom.blogspot.com/2009/03/gambaran-pengetahuan-pasien-mengenai.html