Jumat, 06 Mei 2011

HIV AIDS

Sindrom immunnodefisiensi didapat (Acquired Immunodeficiency Syndrome, AIDS) pertama-tama menarik perhatian bidang kesehatan masyarakat pada tahun 1981. AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler, yang pada penderitanya tidak dapat ditemukan penyebab defisiensi tersebut. AIDS menyebabkan infeksi oportunistik dan/atau neoplasma yang berkaitan dengan defisiensi kekebalan yang sebelumnya dalam keadaan sehat. Menurut Smeltzer AIDS adalah gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat sistem imun dilemahkan oleh virus HIV.
Human Immunedeficiency Virus (HIV) tergolong ke dalam kelompok retrovirus dengan materi genetik dalam asam ribonukleat (RNA) , menyebabkan AIDS dapat membinasakan sel T-penolong (T4), yang memegang peranan utama dalam sistem imun. Sebagai akibatnya, hidup penderita AIDS terancam infeksi yang tak terkira banyaknya yang sebenarnya tidak berbahaya, jika tidak terinfeksi HIV
Penyakit imunodefisiensi kombinasi parah / Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID) adalah gangguan imunodefisiensi menurun menghasilkan antibodi berkadar rendah dan limfosit T dalam jumlah rendah dan gagal berfungsi.
Penyakit imunodefisiensi kombinasi parah adalah gangguan imunodefisiensi paling serius. Itu bisa disebabkan oleh beberapa kerusakan genetika berbeda, kebanyakan yang adalah menurun. Salah satu bentuk gangguan tersebut disebabkan oleh enzim adenosine deaminase. Dahulu, anak dengan gangguan ini dijaga di ruang isolasi ketat, kadangkala di dalam tenda plastik, menyebabkan gangguan tersebut disebut ‘sindrom bubble boy’.
Kebanyakan bayi dengan penyakit imunodefisiensi kombinasi parah mengalami radang paru-paru, sariawan, dan diare, biasanya di usia 3 bulan. Infeksi yang lebih serius, termasuk radang paru-paru pneumocystis, bisa juga terbentuk. Jika tidak diobati, anak ini biasanya meninggal sebelum berusia 2 tahun.




BAB II
TINJAUAN LITERATUR

A. DEFINISI
Sekumpulan keadaan yag berlainan, dimana system kekebalan tidak berfungsi secara adekuat, sehingga inveksi lebih sering terjadi lebih sering berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya.
Jika suatu infeksi terjadi secara berulang dan berat(pada bayi baru lahir, anak-anak maupun dewasa) serta tidak memberikan respon terhadap antibiotic, maka kemungkinan masalahnya terletak pada system kekebalan. Gangguan pada sisteam kekebalan juga menyebabkan kanker atau infeksi virus, jamur dan bakteri yang tidak biasa.

B. ETIOLOGI
1. Human immunodefisiensi virus (HIV).
2. Virus RNA.
3. RNA REVERSE TRANS- DNA

C. TANDA DAN GEJALA
1. Gejala Mayor : ~ BB menurun atau gagal tubuh, ~ Diare > 1 bulan(kronis/berulang).
~ Demam > 1bulan (kronis/berulang),
~ Infeksi sal.nafasbawah yang parah atau menetap.
2. Gejala Minor :
~ Lymfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali.
~ Kandidiasis oral.
~ Infeksi THT yang berulang.
~ Batuk kronis, ~ Dermatitis generalisata, ~ Encefalit

D. INSIDEN
1. Kecenderungan berkembang pada masa datang
2. Terjadinya mutasi sel yang dipengaruhi oleh virus
3. Mulai berkembang pada tahun 1981
4. Dilaporkan → AS 1994 terdpt 270.870 kematian dewasa, remaja dan anak-anak.
5. Angka kematian meningkat sangat tinggi
6. 90 % mengalami kondisi penyakit semakin berat dan meninggal dlm 4 th setelah didiagnosa AIDS
7. Insiden infeksi meningkat tajam pd wanita

E. FAKTOR RESIKO
1. Pria dgn homoseksual
2. Pria dgn biseksual
3. Pengguna IV drug
4. Transfuse darah
5. Pasangan heteroseksual dgn pasien infeksi HIV
6. Anak yang lahir dgn ibu yang terinfeksi
→ Diketahui bahwa virus dibawa dlm limfosit yang terdapat pd sperma memasuki tubuh melalui mucosa yang rusak, melalui ASI, kerusakan permukaan kulit.
→ Ditularkan dari orang ke orang mll pertukaran cairan tubuh, termasuk darah, semen, cairan vagina dan air susu ibu.

F. PATOFISIOLOGI
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang menunjukkan bahwa virus terse¬but membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV (partikel virus yang lengkap dan dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung RNA dalam inti berbentuk peluru terpancung dimana p24 merupakan komponen struktural yang utama. Tombol yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berikatan dengan sel-sel CD4-posisitf (CD4+) adalah gp120 dari HIV.
Sel-sel CD4-positif (CD4+) mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper (yang dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV); limfosit T4 helper ini merupakan sel yang paling banyak di antara ketiga sel di atas. Sesudah terikat dengan membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik ke dalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen.
Menurut Smeltzer3 siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sam¬pai sel yang terinfeksi diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin l) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus (CMV; cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herpes simpleks dan hepatitis. Seba¬gai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+ lainnya.
Infeksi HIV pada monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel itu menjadi reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut ke seluruh tubuh lewat sistem itu untuk menginfeksi berbagai jaringan tubuh. Sebagian besar jaringan itu dapat mengandung molekul CD4+ atau memiliki kemampuan untuk memproduksinya.
Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa sesudah infeksi inisial, kurang-lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terin¬feksi oleh HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung ¬terus sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat primernya adalah jaringan limfoid. Ketika sistem imun terstimulasi. replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah yang mengakibatkan infeksi ber¬ikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain. Penelitian yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa sistem imun pada infeksi HIV lebih aktif daripada yang diperkirakan sebe¬lumnya sebagaimana dibuktikan oleh produksi sebanyak dua milyar limfosit CD4+ per hari. Keseluruhan populasi sel-sel CD4+ perifer akan mengalami "pergantian (turn over)" setiap 15 hari sekali.
Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan de¬ngan status kesehatan orang yang terjangkit infeksi terse¬but. Jika orang tersebut tidak sedang berperang melawan infeksi yang lain; reproduksi HIV berjalan dengan lam¬bat. Namun, reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh seba¬gian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagai contoh, seorang pasien mungkin bebas dari gejala selama berpu¬luh tahun; kendati demikian, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (sampai 65%) tetap menderita penyakit HIV atau AIDS yang simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang tersebut terinfeksi.
Dalam respons imun, limfosit T4 memainkan bebe¬rapa peranan yang penting, yaitu: mengenali antigen yang asing, mengaktifkan Limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksik, memproduk¬si limfokin dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun dinamakan infeksi oportunistik.

G. MANIFESTASI KLINIK
1. Manifestasi klinis AIDS menyebar luas dan pada dasarnya mengenai setiap sistem organ.
2. Pneumonia disebabkan oleh protozoa pneumocystis carini (paling sering ditemukan pada AIDS) sangat jarang mempengaruhi orang sehat. Gejala: sesak nafas, batuk-batuk, nyeri dada, demam – tdk teratasi dapat gagal nafas (hipoksemia berat, sianosis, takipnea dan perubahan status mental).
3. Gagal nafas dpt terjadi 2 – 3 hari
4. TBC
5. Nafsu makan menurun, mual, muntah
6. Diare merupakan masalah pd klien AIDS → 50% – 90%
7. Kandidiasis oral – infeksi jamur
8. Bercak putih dalam rongga mulut → tdk diobati dpt ke esophagus dan lambung.
9. Wasthing syndrome → penurunan BB/ kaheksia (malnutrisi akibat penyakit kronis, diare, anoreksia, amlabsorbsi gastrointestinal)
10. Kanker : klien AIDS insiden lebih tinggi → mungkin adanya stimulasi HIV thdp sel-2 kanker yang sedang tumbuh atau berkaitan dng defesiensi kekebalan → mengubah sel yang rentang menjadi sel maligna.
11. Sarcoma kaposis → kelainan maligna berhubungan dgn HIV (paling sering ditemukan) → penyakit yang melibatkan endotel pembuluh darah dan linfe. Secara khas ditemukan sebagai lesi pd kulit sebagian tungkai terutama pada pria. Ini berjalan lambat dan sudah diobati. Lokasi dan ukuran lesi dpt menyebabkan statis aliran vena, limfedema serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan merusak intergritas kulit dan meningkatkan ketidak nyamanan serta kerentanan thdp infeksi.
12. Diperkirakan 80 % klien AIDS mengalami kalianan neurologis → gangguan pd saraf pusat, perifer dan otonom. Respon umum pd sistem saraf pusat mencakup inflamasi, atropi, demielinisasi, degenerasi dan nekrosis.
13. Herpes zoster → pembentukan vesikel yang nyeri pd kulit.
14. Dermatitis seboroik→ruam yang difus, bersisik yang mengenai kulit kepala dan wajah.
15. Pada wanita: kandidiasis vagina → dapat merupakan tanda pertama yang menunjukkan HIV pd wanita.











H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIG
1. Serologis : skrining HIV dengan ELISA, Tes western blot, limfosit T
2. Pemriksaan darah rutin
3. Pemeriksaan neurologist
4. Tes fungsi paru, broskoscopi

I. PENATALAKSANAAN
1. Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu dilakukan. Pencegahan berarti tdk kontak dgn cairan tubuh yang tercemar HIV.
2. Pengobatan pd infeksi umum
3. Penatalaksanaan diare
4. Penatalaksanaan nutrisi yang adekuat
5. Penanganan keganasan
6. Terapi antiretrovirus
Terapi alternative : terapi spiritual, terapi nutrisi, terapi obat tradisional, terapi tenaga fisik dan akupungtur, yoga, terapi massage, terapi sentuhan















BAB III
PROSES KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Aktifitas /istirahat :
 Mudah lelah, berkurangnya tolerangsi terhdp aktifitas, kelelahan yang progresif
 Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi terhdp aktifitas
2. Sirkulasi
 Proses penyembuhan lika yang lambat, perdarahan lama bila cedera
 takikardia, perubahan tekanan darah postural, volume nadi periver menurun, pengisian kapiler memanjang
3. Integritas ego
 Faktor stress yang berhubungan dgn kehilangan: dukungan keluarga, hubungan dgn org lain, pengahsilan dan gaya hidup tertentu
 Menguatirkan penampilan: alopesia, lesi , cacat, menurunnya berat badan
 Merasa tdk berdaya, putus asa, rsa bersalah, kehilangan control diri, dan depresi
 Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis, kontak mata kurang
4. Eliminasi.
 Diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih
 Faeces encer disertai mucus atau darah
 Nyerio tekan abdominal, lesi pada rectal, perubahan dlm jumlah warna urin.
5. Makanan/cairan :
 Tidak ada nafsu makan, mual, muntah
 Penurunan BB yang cepat
 Bising usus yang hiperaktif
 Turgor kulit jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mucosa mulut
 Adanya gigi yang tanggal. Edema

6. Hygiene
 Tidak dapat menyelesaikan ADL, memepeliahtkan penampilan yang tdk rapi.
7. Neurosensorik
 Pusing,sakit kepala.
 Perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi
 Kelemahan otot, tremor, penurunan visus.
 Bebal,kesemutan pada ekstrimitas.
 Gayaberjalan ataksia.
8. Nyeri/kenyamanan
 Nyeri umum/local, sakit, rasaterbakar pada kaki.
 Sakit kepala, nyeri dada pleuritis.
 Pembengkakan pada sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan ROM, pincang.
9. Pernapasan
 Terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non,
 sesak pada dada, takipnou, bunyi napas tambahan, sputum kuning.
10. Keamanan
 Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, lauka lambat proses penyembuhan
 Demam berulang
11. Seksualitas
 Riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan kondom yang tdk konsisten, lesi pd genitalia, keputihan.
12. Interaksi social
 Isolasi, kesepian,, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tdk terorganisir






B. DIAGNOSA
1. Resiko terjadinya infeksi b/d depresi system imun, aktifitas yang tdk terorganisir
2. Defisit volume cairan tubuh b/d diare berat, status hipermetabolik.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d hambatan asupan makanan (muntah/mual), gangguan intestinal, hipermetabolik.
4. Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru, melemahnya otot pernafasan.

C. INTERVENSI
1. Meningkatkan Integritas Kulit. Kulit dan mukosa oral harus dinilai secara rutin dari adanya infeksi dan kerusakan kulit. Pasien dianjurkan mempertahankan keseimbangan antara istirahat dan mobilitas. Bantu mengubah posisi pasien setiap 2 jam bagi yang imobilisasi. Pasien diminta untuk tidak menggaruk dan menggunakan sabun nonabrasif, memakai pelembab tanpa parfum untuk mencegah kekeringan kulit.
2. Gunakan losion, salep, dan kasa steril pada kulit yang sakit sesuai ketentuan dokter. Obat antipruritus, antibiotik dan analgesik diberikan menurut ketentuan dokter. Penggunaan plester harus dihindari. Menjaga agar kain sprei tidak berkerut dan hindari memakai pakaian ketat.
3. Daerah perianal pasien harus sering diperika, bersihkan setiap kali selesai defekasi dengan sabun nonabrasif. Rendam duduk atau irigasi secara perlahan-lahan untuk pembersihan dan meningkatkan kenyamanan. Pasien dengan keadaan umum yang buruk memerlukan bantuan untuk memelihara kebersihan diri.
4. Meningkatkan kebiasaan Defekasi yang Lazim. Nilai pola defekasi, frekuensi defekasi, dan konsistensi feses serta pasien yang melaporkan rasa sakit pada perut terkait dengan defekasi. Kuantitas dan volume feses cair diukur untuk mencatat kehilangan volume cairan. Kultur feses untuk menentukan penyebab diare. Konseling untuk pengobatan dan asupan makanan yang adekuat.
5. Mencegah Infeksi. Kepada pasien dan orang yang merawatnya diminta untuk memantau tanda dan gejala infeksi, yaitu demam, mengigil, keringat malam, batuk dengan atau tanpa produksi sputum, napas pendek, kesulitan bernapas, sakit / sulit menelan, bercak putih di rongga mulut, penurunan BB yang tidak jelas penyebabnya, kelenjar limfe membengkak, mual, muntah, diare persisten, sering berkemih, sulit dan nyeri saat berkemih, sakit kepala, perubahan visual dan penurunan daya ingat, kemerahan, keluar sekret pada luka, lesi vaskuler pada wajah, bibir atau daerah perianal. Perawat harus memantau hasil laboratorium, seperti hitung leukosit dan hitung jenis.
Penyuluhan mencakup higiene perorangan, rumah (seperti kamar, dapur) harus bersih untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur. Jika harus membersihkan kotoran, pasien harus memakai sarung tangan. Pengidap AIDS dan pasangannya harus menghindari kontak dengan cairan tubuh selama melakukan hubungan seksual dan selalu menggunakan kondom pada segala bentuk hubungan seks. Pentingnya menghindari rokok dan mempertahankan keseimbangan antara diet, istirahat, dan latihan. Semua petugas kesehatan harus selalu mempertahankan tindakan penjagaan universal dalam semua perawatan pasien.
6. Memperbaiki Toleransi terhadap Aktivitas. Toleransi terhadap aktivitas dinilai dengan memantau kemampuan pasien untuk bergerak (ambulasi) dan melaksanakan kegiatan sehari-hari. Bantuan dalam menyusun rencana rutinitas harian untuk menjaga keseimbangan antara aktivitas dan istirahat mungkin diperlukan. Barng-barang pribadi yang sering digunakan harus ditaruh pada tempat yang mudah dijangkau. Terapi relaksasi dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan yang turut menimbulkan kelemahan dan keadaan mudah letih. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain mungkin diperlukan, seperti kelemahan akibat adanya anemia, yang memerlukan terapi obat-obatan.
7. Memperbaiki Proses Pikir. Status mental harus dinilai sedini mungkin untuk memberikan data dasar bagi keperluan pemantauan perubahan perilaku. Pasien dan keluarga harus dibantu untuk memahami dan mengatasi semua perubahan yang terjadi dalam proses pikir. Pasien mungkin memerlukan reorientasi, semua instruksi harus dengan bahasa yang jelas dan sederhana.
8. Memperbaiki Bersihan Jalan Napas. Frekuensi, irama, penggunaan otot aksesoris dan suara pernapasan ; status mental; dan warna kulit diperiksa minimal sekali sehari. Adanya sputum harus dicatat, batuk, bernapas dalam, drainase postural, perkusi dan vibrasi dilakukan sedikitnya setiap dua jam untuk mencegah stasis sekresi dan meningkatkan bersihan saluran napas. Berikan posisi fowler tinggi atau semi fowler yang akan meudahkan pernapasan dan bersihan saluran napas. Evaluasi status volume cairan untuk mempertahankan terapi hidrasi yang adekuat. Suctioning nasofaring atau trakea, intubasi dan ventalasi mekanis.
9. Meredakan Nyeri dan ketidaknyamanan. Nyeri akut adalah keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya ketidaknyamanan, berakhir dari satu detik sampai kurang dari 6 bulan. Sedangkan nyeri kronik adalah keadaan dimana individu mengalami nyeri menetap atau berulang , dalam waktu lebih dari 6 bulan. Nilai kualitas dan kuantitas nyeri yang berkaitan dengan terganggunya integritas kulit perineal, lesi sarkoma, dan neuropati perifer. Tindakan membersihkan daerah perianal, gunakan anestesi lokal / salep dapat diresepkan, bantal yang lunak dapat digunakan untuk meningkatkan rasa nyaman. Kepada klien diminta menghindari makanan yang mengiritasi usus, gunakan antispasmodik dan antidiare untuk mengurangi gangguan rasa nyaman serta frekuensi defekasi. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan.
10. Memperbaiki Status Nutrisi. Status nutrisi dinilai melalui memantau BB, asupan makanan, antropometri, kadar albumin, BUN, protein serta transferin dalam serum. Pengendalian mual dan muntah dengan obat antiemetik. Menganjurkan pasien memakan makanan yang mudah ditelan dan menghindari makanan kasar, pedas atau lengket, serta terlalu panas atau dingin. Menganjurkan menjaga higiene oral sebelum dan sesudah makan.
Jadual makan harus diatur sehingga tidak jatuh pada saat pasien baru saja menjalani tindakan yang menyebabkan nyeri dan dalam keadaan kelelahan. Konsultasi dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan nutrisi. Penggunaan suplemen yang khusus dirancang untuk pengidap AIDS dapat dianjurkan pada pasien. Bila asupan oral tidak dapat dipertahankan, memerlukan terapi nutrisi enteral atau parenteral. Perawat komunitas atau perawatan di rumah (home care) dapat memberikan pelajaran tambahan serta dukungan setelah pasien pulang dari rumah sakit.
11. Mengurangi Isolasi Sosial. Isolasi sosial adalah pengalaman sendiri individu akibat perlakuan orang lain dan dianggap sebagai hal yang negatif dan mengancam status. Isolasi sosial dapat terjadi akibat adanya penyakit yang menyeramkan, dan mengakibatkan kegelisahan di suatu masyarakat, sehingga menyebabkan seseorang diasingkan, misalnya penyakit tuberkulosis dan AIDS.
Perawat berada dalam posisi kunci untuk menciptakan suasana penerimaan dan pemahaman terhadap pengidap AIDS dan keluarga serta pasangannya. Pasien dianjurkan untuk mengekspresikan perasaan terisolasi, kesepiannya, dan perawat harus menetramkannya dengan menjelaskan bahwa semua perasaan ini merupakan hal yang lazim serta normal.
Berikan informasi tentang cara melindungi diri sendiri dan orang lain dapat membantu pasien agar tidak menghindari kontak sosial. Menjelaskan kepada pasien, keluarga dan sahabatnya bahwa penyakit AIDS tidak ditularkan melalui kontak biasa. Pendidikan bagi petugas kesehatan untuk mengurangi faktor-faktor yang membuat pasien merasa terisolasi.
12. Koping Terhadap Kesedihan. Membantu pasien untuk mengutarakan perasaannya dan menggali serta mengenali sumber yang bisa memberikan dukungan dan mekanisme untuk mengatasi persoalan tersebut. Mendorong pasien untuk mempertahankan kontak dengan keluarga , sahabatnya dan memanfaatkan kelompok pendukung. Pasien juga dianjurkan untuk meneruskan kegiatan yang biasa mereka lakukan.
13. Pendidikan Pasien dan pertimbangan Perawatan di Rumah. Pasien, keluarga, dan sahabatnya diberitahu mengenai cara-cara penularan penyakit AIDS. Semua ketakutan dan kesalahpahaman harus dibicarakan dengan seksama.

D. EVALUASI
1. Klien akan menunjukkan tanpa adanya tanda-tanda infeksi (tdk ada demam, sekresi tdk purulent)
2. Klien akan mempertahankan tingkat hidrasi yang adekuat
3. Klien akan menunjukkan peningkatan BB ideal.
4. Klien akan mmempertahankan pola nafas yang efektif
DAFTAR PUSTAKA

1. Bruner, Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3. Jakarta : EGC. 2002
2. http://andaners.wordpress.com/asuhan-keperawatan
3. Price. S.A., & Wilson. L.M. Patofisiologi : konsep klinis prose-proses penyakit. edisi 4. Alih bahasa : Anugerah. P, Jakarta: EGC. 1995
4. Djuanda. A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. edisi-2. Jakarta : Gaya Baru. 1993.
5. Smeltzer. S.C.,& Bare. B.G. Brunner & Suddarth's Textbook of Medical-Surgical. 8 ed. Philadelphia : Lippincott-Raven Publishers. 1996.
6. Despopoulos. A., & Silbernagl. S. Color atlas of physiology, alih bahasa : Handojo. Y. Jakarta : Hipokrates. 1985.
7. Sherwood. L. Fisiologi Manusia. edisi 2. Alih bahasa : Pendit. B.U. Jakarta : EGC. 2001.
8. Ho, D.D., et al. Rapid removal of plasma virons and CD4 lymphocytes in HIV infection. Nature 1995 Jan 12; 373 (6510): 123-6
9. Pinching, A.J. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS). In Roitt IM and Delves PJ (eds). Encyclopedia of Immunology (vol 1). New York, Academy Press. 1992
10. Doenges. M. E., Moorhouse. M. F., & Geissler.A.C. Nursing Care Plans .3 rd. ed. Philadelphia: FA. Davis Company. 1993.
11. Nursalam. Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika. 2001
12. Iyer,P.P.,Taptich, B.J., & Bernochi-Losey, D. Nursing Process and Nursing Diagnosis: Philadelphia. W.B. Saunders Company. 1996
13. Carpenito. L.J. Nursing Care Plans & Documentation : Nursing Daignoses and Collaborative Problems (2 nd. Ed). Philadelphia. J.B. Lippincott Company. 1995.
14. Carpenito. L.J. Nursing Diagnosis : Application to Clinical Practice. 6th ed. Alih Bahasa : Tim PSIK Unpad. Jakarta : EGC. 2000.
15. McFarland. G. K., & McFarland. E. A. Nursing Diagnosis & Intervention .3 rd. St. Louis: Mosby. 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar